Minggu, 28 November 2010

Tradisi Lisan Jadi Bahan Ajar

Rata PenuhPangkal Pinang, Babel - Kementerian Pendidikan Nasional berjanji menjadikan tradisi lisan sebagai salah satu bahan ajar untuk pengembangan karakter bangsa. Kearifan lokal dalam tradisi lisan diyakini bisa kembali menyadarkan pentingnya kehidupan multikultural.

Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal saat membuka Seminar Internasional Tradisi Lisan VII di Pangkal Pinang, Sabtu (20/11), menjanjikan, Kementerian Pendidikan Nasional akan menjadikan tradisi lisan Nusantara sebagai salah satu bahan ajar. Lembaga Peningkatan Mutu Pendidikan di bawah Kementerian Pendidikan Nasional akan dilibatkan untuk menggagas kompetensi guru dan tenaga pendidik yang dibekali pengetahuan soal tradisi lisan lokal.

”Guru jadi punya pintu masuk yang relevan bagi pengembangan karakter bangsa,” ujarnya. Saat ini Kementerian Pendidikan Nasional bekerja sama dengan Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) memberi beasiswa program master dan doktoral di luar dan dalam negeri bagi mereka yang tertarik melakukan kajian tradisi lisan.

Dia mengakui pentingnya tradisi lisan sebagai salah satu stimulus bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Tradisi lisan membantu anak didik, terutama di usia dini, mengembangkan mimpi dan karakter mereka saat dewasa.

Menurut dia, karakter bangsa Indonesia sebagai bangsa yang multikultur dan menghargai keharmonisan mestinya bisa dibentuk sejak awal jika tradisi lisan tetap hidup dan menjadi stimulus setiap anak didik.

”Anak ketika lahir sudah diberkati Tuhan dengan 100 miliar sel otak. Saya membayangkan tradisi lisan yang sudah embedded dalam kultur bangsa ini bisa menjadi stimulus bagi pengembangan sel-sel otak anak. Kalau sel-sel otak ini distimulasi dengan kekayaan dalam tradisi lisan Nusantara, mereka tidak akan mati, dan menyelamatkan anak Indonesia dari kebodohan,” papar Fasli.

Disharmoni
Ketua ATL Pudentia Maria Purenti Sri Sunarti mengakui, disharmonisasi masyarakat multikultural di Indonesia akhir-akhir ini sebenarnya akibat dari mulai hilangnya tradisi lokal. Pudentia mengatakan, tradisi lisan yang hidup di masyarakat sejak lama, seperti Pela Gandong di Maluku, sebenarnya mengajarkan harmonisasi dalam kehidupan masyarakat majemuk. Namun, hilangnya tradisi lisan di banyak tempat membuat disharmonisasi dalam masyarakat majemuk di Indonesia mudah terjadi.

Guru Besar Tamu Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Dick van Der Meij yang menjadi salah satu pembicara mengungkapkan, proyek revitalisasi tradisi lisan tak boleh kaku jika menyangkut pelibatan anak didik. Dia mencontohkan, tradisi lisan tak harus dipertahankan dalam bentuk bahasa asal atau bahasa Indonesia yang baku dalam pengajarannya. ”Tetapi harus juga menggunakan bahasa anak muda atau bahasa gaul mereka agar pesan penting tradisi lisan bisa tersampaikan,” katanya.

Kemiskinan jadi ancaman
Sementara itu pada seminar serupa di hari Minggu (21/11), Carmen Padilla dari Program Intangible Cultural Heritage Forum Unesco mengungkapkan, seniman tradisi di Indonesia banyak hidup dalam kemiskinan, sementara perhatian pemerintah terhadap mereka masih sangat minim. Akibatnya, karena seni tradisi tak bisa lagi menghidupi senimannya, proses kepunahan terus terjadi.

Upaya revitalisasi seni tradisi dinilai tak hanya cukup dengan memberikan penghargaan maestro terhadap seniman. Dia mencontohkan, di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, budaya adalah mata pencarian yang sangat penting.

”Jika masyarakat dapat menghidupi dirinya dari bentuk seni tradisi mereka, maka budaya mendapat posisi penting dalam masyarakat. Seniman harus bisa bertahan untuk membuat seni tradisi tetap lestari. Jika komunitas seniman bisa hidup dari bentuk seni yang mereka pertunjukkan, secara otomatis seni tradisi juga tetap hidup,” kata Padilla.

Menurut Padilla, Unesco sebenarnya cukup memberi perhatian bagi inisiatif masyarakat sipil mendorong komunitas seniman, menjadikan seni tradisi sebagai bagian dari mata pencarian mereka, seperti di Bengal Barat, India. Sementara pemerintah pusat dan daerah di sisi lain kurang bisa diharapkan mendorong seni tradisi sebagai mata pencarian yang layak bagi seniman lokal, seperti kasus di Provinsi Bangka Belitung. (BIL)

Sumber: http://cetak.kompas.com