Kamis, 28 Januari 2010

Menengok Kampung Kusta Sitanala Di Banten

Sekilas tak ada yang tampak tak lazim pada pemukiman penduduk yang bermula di belakang kompleks Rumah Sakit Kusta dr Sitanala, Desa Karang Sari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten.

Hanya ada deretan rumah petak kecil yang berdiri berjajar dengan jalanan tanah berbatu yang becek, pagar bambu di pinggir jalan, masjid, beberapa warung kecil dan pohon-pohon buah yang basah oleh hujan yang mengguyur kampung sejak pagi.

"Tapi coba perhatikan orang-orang yang tinggal di sini, tukang becak yang mangkal di ujung jalan," kata JP Handoko Soewono, dokter yang bertugas di Rumah Sakit Kusta Sitanala sejak tahun 1987.

Dua tukang becak yang mangkal di ujung jalan menuju kampung, beberapa jari tangannya tidak utuh, tiga kakek yang duduk di depan kopel mereka juga demikian, bahkan ada yang jari kaki dan tangannya rusak.

Mereka adalah mantan penderita kusta. Dulu bakteri Mycobacterium leprae menginfeksi tubuh mereka, membuat beberapa bagian tubuh mati rasa sehingga tak sadar benda-benda di sekitar melukai tubuh dan akhirnya meninggalkan kecacatan.

Menurut Muhammad Mitam (55), Ketua RT 01/RW 13 di kampung itu, sebagian besar warga kampung adalah mantan penderita kusta yang sebelumnya menjalani pengobatan di Rumah Sakit Kusta Sitanala.

Dari 300 kepala keluarga yang tinggal di RT 01/RW 13, kata dia, 210 kepala keluarga diantaranya adalah mantan penderita kusta.

"Asalnya dari mana-mana, dari 27 provinsi ada semua, ada yang dari Ambon, Manado, Sumatera dan lain-lain," katanya.

Laki-laki asal Subang, Jawa Barat, yang ketika berusia 17 tahun dirawat di Sitanala karena terserang lepra itu menuturkan, dulu orang-orang yang pernah sakit kusta tidak diterima di warga kampung sehingga tetap tinggal di rumah sakit meski masa pengobatan telah usai.

"Kusta masih dianggap penyakit kotor, kutukan akibat macam-macam perbuatan jahat yang pernah dilakukan. Orang kampung biasanya tidak mau terima. Makanya mantan penderita tidak kembali ke kampung," katanya.

Pihak rumah sakit pun menyediakan rumah untuk transit bagi mantan penderita sampai mereka bisa membangun rumah sendiri di lahan kosong di dekat rumah sakit.

"Awalnya hanya ada sekelompok rumah tapi kemudian bertambah padat. Sampai sekarang ada lima RT yang sebagian besar penghuninya mantan penderita kusta," kata Mitam.

Ia menjelaskan pula bahwa stigma buruk pada mantan penderita kusta pada masa itu membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan sehingga akhirnya hanya bisa bekerja di lingkungan rumah sakit, menjadi tukang sapu di kantor kotamadya, atau mengayuh becak untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Mitam, yang sekarang sudah punya tiga anak dan tiga cucu, juga bekerja di rumah sakit setelah sembuh dari penyakit yang membuat punggung dan tangannya hingga kini penuh bekas luka.

"Dulu saya di bagian pembuatan sandal dan kaki palsu. Sekarang di bagian tata usaha," kata Mitam yang berbangga akhirnya bisa menjadi pegawai pemerintah dan mendapat rumah dinas meski hanya lulusan Sekolah Dasar.

Ali Nurdin (57), yang kaki, tangan dan beberapa bagian tubuhnya rusak akibat kusta, juga bekerja di lingkungan rumah sakit setelah sembuh dari kusta.

Sebagai mantan penderita kusta yang tangan dan kakinya sudah cacat, dia tidak bisa kembali bekerja menjadi kuli angkut di Tanjung Priok. Dia juga tidak bisa pulang ke kampungnya di Bangkalan, Madura, dan tidak pernah mencoba melakukannya.

"Adik saya perempuan jadi sejak awal saya tidak bilang ke keluarga kalau sakit kusta, apalagi kembali ke sana dalam keadaan begini. Takutnya keluarga disebut macam-macam dan mengalami kesulitan. Saya menganggap diri saya anak hilang saja sejak itu," katanya.

Setelah menjalani pengobatan dan terapi selama dua tahun lebih, Ali tinggal di rumah transit dan menjadi pesuruh di rumah sakit. Kadang dia mengecat rumah petugas rumah sakit dan mendapatkan upah sekedarnya.

Pada masa itu, kata Ali, tidak mudah bagi orang-orang seperti dia mendapatkan pekerjaan di luar lingkungan rumah sakit.

"Jangankan bekerja, belanja di toko saja, pelayan mengambil uang dari kami dengan kertas. Saya ingat benar saat itu. Padahal kalau sudah berobat, meski tubuh cacat kami sudah tidak bisa menularkan penyakit, yang bahaya justru yang kelihatannya sehat tapi tubuhnya mengandung basil," katanya.

Namun Ali tidak pernah menyalahkan orang-orang yang takut atau jijik melihat kondisi tubuhnya.

"Karena saya sendiri, yang juga sakit, agak takut saat melihat kawan-kawan lain yang kena kusta, saat reaksi muka, tangan dan kaki bengkak semua. Rasanya seperti ditusuk-tusuk ribuan jarum," kata Ali yang siang itu hanya mengenakan celana panjang hitam yang warnanya telah pudar dengan kaus kaki biru berlubang, membuat bekas luka akibat kusta pada tubuh, tangan dan sebagian kakinya terlihat.

Berubah Bersama Waktu
Dulu kampung itu eksklusif karena tidak ada warga luar yang berani keluar masuk kecuali petugas rumah sakit. Mantan penderita kusta masih dikucilkan.

Tapi stigma buruk terhadap penderita dan mantan penderita kusta di kampung itu memudar perlahan bersama pergerakan waktu.

Kata Mitam, setelah tahun 1988 penderita kusta tidak lagi dikucilkan masyarakat. Mereka bisa membaur dengan masyarakat lain. Anak-anak mereka juga tidak mendapat perlakuan buruk di sekolah.

"Banyak anak-anak eks penderita di sini yang kemudian menjadi orang sukses, ada yang jadi tentara dengan pangkat letnan, perawat, pekerja di bandara atau pedagang," kata Mitam.

Warga kampung lain juga sering bertandang ke kampung itu, bahkan ada yang mengontrak rumah di sana. Kampung itu tidak menyendiri lagi.

"Ada juga orang dari luar yang menikah dengan anak-anak mantan penderita kusta di sini dan kemudian tinggal di sini. Anak-anak mereka tidak ada yang kena kusta," katanya.

Orang sakit kusta yang selesai menjalani pengobatan di Rumah Sakit Sitanala sekarang juga tidak tinggal di kampung itu, tapi kembali ke keluarga dan kampung mereka sendiri.

"Sekarang keluarga bersama mereka. Selama pengobatan mereka kebayakan bersama keluarga, setelah selesai mereka pulang bersama keluarga," katanya.

Namun kondisi itu tampaknya belum merata di seluruh wilayah.

Hasil penelitian Yayasan Transformasi Lepra Indonesia (YTLI) di 15 perkampungan mantan penderita kusta di Indonesia selama November 2007-Februari 2008 menunjukkan bahwa meski mantan penderita kusta sudah bisa hidup membaur dengan masyarakat namun stigma buruk masih dilekatkan pada mereka, membuat mereka rentan terdiskriminasi.

Penelitian yang melibatkan 502 warga kampung kusta di Papua Barat, Sulawesi Selatan, NTT, Bali, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat,Kalimantan Selatan dan DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa hidup mereka belum banyak berubah, masih miskin dan terpinggirkan.

Turun Tapi Masih Tinggi
Dulu 550 bangsal di Rumah Sakit Sitanala hampir selalu penuh dengan pasien kusta. "Mulai tahun 2000 jumlahnya turun, selalu di bawah 100 pasien. Sekarang ini hanya ada 70 pasien," kata dr.Handoko.

Secara nasional, kejadian penyakit kusta juga mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir namun angkanya masih tinggi jika dibandingkan dengan kejadian kusta di negara lain.

Kementerian Kesehatan mencatat, sampai akhir 2008 ada 17.441 kasus baru kusta baru di Indonesia, terbanyak nomor tiga di dunia.

Sebanyak 1500-1700 kasus kecacatan akibat kusta setiap tahunnya juga masih ditemukan karena kebanyakan penyakit terlambat terdeteksi sehingga terlanjur menyebabkan kerusakan organ tubuh.

"Itu karena ada daerah-daerah yang masih menjadi kantong kusta. Kebanyakan daerah-daerah terpencil yang belum punya akses ke sarana kesehatan," kata Handoko.

Menurut data Kementrian Kesehatan, saat ini masih ada 14 propinsi yang punya beban kusta yang tinggi dengan angka penemuan kasus baru lebih dari 10 per 100 ribu atau penemuan kasus barunya melebihi seribu kasus per tahun.

Daerah yang memiliki beban kusta tinggi antara lain DKI Jakarta, Jawa tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, seluruh Sulawesi, seluruh Papua dan Maluku.

Pemerintah menjalankan program berkesinambungan untuk menurunkan kejadian penyakit menular yang paling sulit menular ini menjadi kurang dari 10 per 10 ribu penduduk di semua kabupaten yang ada di Indonesia.

Upaya itu antara lain dilakukan dengan melakukan deteksi dini kasus kusta dan pengobatan dengan obat ganda (Multi Drug Therapy/MDT) untuk mencegah kecacatan.

"Obat kusta gratis dari pemerintah," kata Handoko.

Pemerintah juga berusaha mengubah pandangan masyarakat luas tentang kusta dan mantan penderita kusta serta meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penyakit itu supaya kasusnya bisa terdeteksi dan tertangani sejak dini.

Namun kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan dalam pengendalian penyakit kusta belum memberikan perubahan nyata pada perbaikan kondisi epidemiologi penyakit tersebut.

Pemerintah di daerah kantung harus bekerja lebih keras dan menerapkan program-program inovatif untuk menurunkan penemuan kasus dan kecacatan pada tahun-tahun mendatang sebab bila program kusta tidak berjalan baik, maka dikhawatirkan dalam tahun-tahun mendatang jumlah penderita kusta akan bertambah secara mengejutkan.

Upaya terobosan yang dibutuhkan untuk mempercepat eliminasi kusta antara lain peningkatan dan perluasan pelayanan kesehatan terpadu, penyediaan pelayanan kusta pada satu hinga tiga puskesms per kabupaten, pengobatan cuma-cuma bagi penderita dengan MDT sesuai rekomendasi WHO serta penguatan sistem rujukan.

"Yang tak kalah penting adalah mengintensifkan edukasi kepada masyarakat supaya tidak ada lagi stigma sosial. Kasus kusta juga bisa ditemukan dan ditangani sejak dini sehingga kecacatan bisa dicegah dan basil-basil penyebab lepra tidak menyebar dan menular kemana-mana," kata Handoko.

Dokter yang sejak tahun 1980 sudah menangani kasus kusta itu menjelaskan pula bahwa sebenarnya kusta akan dengan sendirinya tiada kalau kondisi ekonomi penduduk baik.

"Obat MDT yang bisa menyembuhkan kusta baru dipakai WHO tahun 1981 tapi di Eropa kusta sudah tidak ada tahun 1952. Jadi saya yakin, kalau masalah kemiskinan bisa diatasi kejadian penyakit ini akan terus turun dan akhirnya habis," demikian JP Handoko Soewono.

Sumber : http://beritadaerah.com