Rabu, 27 Januari 2010

Wisata Religi 'Nguras' Enceh

Oleh Eny Prihtiani

Saat Sultan Agung sedang bertapa mencari petunjuk lokasi yang tepat bagi makam raja, ia kesulitan mendapatkan air untuk berwudu. Ia lantas menancapkan tongkatnya ke tanah yang terkenal dengan sebutan Bengkang, dan keluarlah air dari dalam tanah. Air inilah yang digunakan untuk mengisi enceh atau padasan di Makam Raja Imogiri.

Pada acara nguras enceh, pertengahan Desember, air dari dalam enceh menjadi rebutan para pengunjung. Mereka menganggapnya sebagai air suci seperti halnya air zamzam di Mekkah. ”Saya datang jauh-jauh dari Kebumen ke sini khusus untuk mendapatkan air enceh. Tujuannya supaya kehidupan keluarga saya mendapat berkah,” kata Taufan, seorang pengunjung yang ikut berebut air.

Untuk mendapatkan sebotol air dari enceh, Taufan harus menaiki 454 anak tangga dari total 554 anak tangga untuk mencapai lokasi. Karena kelupaan tidak membawa botol, ia pun membeli satu botol plastik ukuran 1 liter seharga Rp 1.000 yang dijajakan para penjual di sekitar makam. Tak hanya air enceh yang diperebutkan, tetapi juga nasi gurih sesaji.

”Jauh-jauh hari saya sudah mengumpulkan botol plastik untuk dijual. Jumlah yang saya sediakan sekitar 20 botol. Lumayanlah hasilnya bisa untuk belanja keperluan dapur,” kata Nuryanti, seorang penjual botol plastik.

Tak hanya menguntungkan bagi pedagang botol, mitos keampuhan air enceh juga mendatangkan rezeki dari sekitar 200 juru kunci makam. Sejumlah pengunjung memberikan uang kepada para juru kunci yang menuangkan air ke dalam botol dengan besaran sekitar Rp 1.000 per botol.

Rezeki itu cukup memberikan angin segar bagi para juru kunci makam mengingat honor yang mereka terima selama ini sangat rendah, yakni Rp 9.000 per bulan.

Meski budayawan Kuntowijoyo meletakkan mitos dalam periode awal evolusi pemikiran manusia, toh mitos akan kesakralan air enceh tetap bertahan hingga saat ini. ”Percaya enggak percaya, tetapi air enceh memang banyak dicari orang. Motifnya beragam sesuai dengan doa yang mereka panjatkan,” kata Rohmat, salah satu juru kunci Makam Raja Imogiri.

Empat enceh
Ada empat enceh yang terletak di depan pintu gerbang I, dua di bagian kiri dan dua enceh di bagian kanan. Bagian kiri bernama Kiai Mendung dan Kiai Siyem (milik makam raja-raja Surakarta). Bagian kanan bernama Kiai Danumurti dan Kiai Danumaya (milik makam raja Yogyakarta).

Keempat enceh tersebut adalah simbol kejayaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Enceh-enceh itu adalah upeti yang diberikan kerajaan Aceh, Palembang, Siam (Bangkok), dan Ngerum (Istanbul), setelah mereka dikalahkan oleh Sultan Agung.

Awalnya kerajaan-kerajaan itu mau memberikan upeti berupa perhiasan dan harta benda lainnya. Namun, Sultan Agung adalah sosok yang sederhana. Mereka pun memberikan enceh karena tahu Sultan Agung adalah penyiar agama. ”Enceh itu pun digunakan untuk tempat berwudu saat kerajaan Mataram masih di bawah kendali Sultan Agung. Setelah beliau wafat, lalu dibawa ke sini,” kata Wasim, juru kunci makam lainnya.

Makam Imogiri merupakan kompleks makam bagi raja-raja Mataram dan keluarganya. Kompleks ini berada di Girirejo, Imogiri. Makam ini didirikan oleh Sultan Agung antara tahun 1632 dan 1640. Sultan Agung wafat pada tahun 1645.

Enceh yang terbuat dari tanah liat itu dikuras selama setahun sekali pada Jumat Kliwon bulan Sura, jika tidak ada akan diganti dengan Selasa Kliwon. Jumat Kliwon menjadi pilihan karena, menurut perhitungan orang Jawa, Jumat Kliwon sangat sakral. Meski dikuras setahun sekali, airnya tetap bersih. Tidak ada lumut atau jentik di dalamnya.

Menurut Wasim, tradisi menguras enceh sebenarnya memiliki arti mendalam. Nguras berarti membersihkan, yakni membuang hal-hal jelek dan menggantinya dengan kebaikan. Karena itu sangat tepat bila dilangsungkan pada tahun baru Jawa. Bagi masyarakat timur, tahun baru lebih dimaknai sebagai wahana reflektif kehidupan selama setahun terakhir.

Wasim mengatakan, juru kunci akan melayani pengunjung yang meminta air hingga sore. ”Selama masih ada yang minta, akan terus kami layani. Kalau sudah sore, enceh baru kami penuhi lagi,” katanya.

Satu hari sebelum acara nguras enceh, masyarakat Imogiri menggelar acara kirab budaya. Kirab itu mengantarkan siwur (gayung) menuju makam yang akan digunakan untuk menguras enceh.

Siwur sengaja dipakai karena memiliki makna suci. Konkretnya adalah menjadi manusia berilmu dan berakhlak.

Siwur berasal dari bahasa Jawa, si dan wur yang berarti wis berisi aja ngawur. Maksudnya, bila seseorang telah menguasai banyak ilmu pengetahuan, jangan digunakan serampangan atau ngawur. Siwur dibuat dari batok kelapa.

Kirab diawali dari halaman kantor Kecamatan Imogiri menuju kediaman juru kunci makam Surakarta untuk mengambil siwur, lalu dilanjutkan ke kediaman juru kunci makam Yogyakarta dengan kegiatan yang sama.

Meski sudah berusia ratusan tahun, keempat enceh di Makam Raja Imogiri masih berdiri kokoh. Tak ada satu pun bekas rekahan. Kekokohan itu sekaligus bukti proses akulturasi budaya Islam dan Hindu-Buddha.

Enceh sebagai tempat berwudu adalah perangkat bagi ajaran Islam, sementara kepercayaan terhadap kesucian air enceh adalah bagian animisme/dinamisme, yang tidak bisa dilepaskan dari tradisi Hindu-Buddha.

Sumber: http://cetak.kompas.com