Kamis, 06 Mei 2010

Nusantara Kaya Kearifan Lokal Pangan

Yogyakarta - Sejarah Nusantara kaya akan kearifan lokal bidang pertanian dan pengolahan bahan makanan. Berbagai kearifan lokal ini perlu digali kembali dan disesuaikan dengan kondisi saat ini untuk mengatasi krisis pangan yang tengah melanda Indonesia.

Karena kearifan lokal sebenarnya merupakan bagian dari sistem adaptasi masyarakat terhadap lingkungannya, sehingga masyarakat telah mengetahui dengan baik kondisi alam dan lingkungannya sendiri, tutur Direktur Geografi dan Sejarah Endjat Djaenuderadjat dalam Seminar Nasional Ketahanan Pangan: Strategi dan Kearifan Lokal Dalam Perspektif Sejarah yang diselenggarakan Direktorat Geografi Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata dengan Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, Rabu (5/5).

Salah satunya, kata Endjat, terdapat dalam bangunan tradisional yang memiliki sistem lumbung yang terpisah dari rumah induk. Susunan bangunan tradisional seperti ini menghindarkan penduduk dari kelaparan saat bencana menyerang dan menghancurkan rumah.

Saat ini, masyarakat umumnya tidak lagi mempunyai sistem lumbung untuk menyimpan bahan makanan. Akibatnya, ketahanan pangan masyarakat menurun. Hal ini terlihat dari kelaparan yang terjadi saat bencana menghancurkan rumah seperti kebakaran. Dalam beberapa hari setelah kebakaran, masyarakat korban bencana biasanya mengalami kelaparan karena tak punya simpanan pangan.

Guru Besar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang Singgih Tri Sulisti yono mengatakan, kebiasaan makan beras turut menurunkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia. Kebiasaan makan beras melunturkan tradisi makan bahan pangan lokal yang dimiliki berbagai suku bangsa dan kelompok sosial. Padahal di masa lalu, berbagai suku bangsa dan kelompok sosial mempunyai beragam makanan pokok berbahan bahan pangan lokal seperti sagu, ubi-ubian, maupun jagung.

Hal ini menunjukkan sudah berkembangnya diversifikasi pangan berdasarkan kondisi geografis. Akan tetapi, diversifikasi pangan secara tradisional ini tergeser oleh kebiasaan makan beras sehingga diversifikasi tereduksi menjadi keseragaman bahan pangan.

Kebiasaan makan beras menjadi beban pada ketahanan pangan Indonesia. Pada 1998-2000, Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia dengan jumlah impor mencapai empat juta ton.

Menurut Andreas Maryoto, Wartawan Kompas dan Penulis Buku Jejak Pangan, Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan , gairah wisata kuliner yang sedang merebak merupakan peluang untuk menggali kembali kekayaan kuliner nusantara dan dikembangkan sebagai diversifikasi pangan. Berbagai daerah di Nusantara mempunyai tradisi pangan lokal yang menarik dan menimbulkan sensasi tersendiri . Beberapa tradisi tersebut di antaranya tradisi makan sirih, tradisi makan sagu, dan tradisi konsumsi pangan hasil fermentasi.

Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, krisis pangan yang terjadi di Indonesia telah sangat parah. Hal ini terlihat dari tingginya impor pangan dan buah-buahan di Indonesia. Tingginya impor pangan dan buah-buahan ini pada akhirnya menurunkan kesejahteraan dan produktifitas petani Indonesia.

Menurut Siswono, krisis pangan yang terjadi di Indonesia bukan karena kekurangan sumber pangan. Akan tetapi lebih karena harga bahan pangan terlalu tinggi sehingga tak terjangkau daya beli masyarakat, ketergantungan pada pangan imp or meningkat, tingkat kesejahteraan masyarakat yang masih rendah, pemanfaatan teknologi pertanian yang minim, serta belum adanya politik pertanian dan pangan yang mantap.

Sumber: http://oase.kompas.com