Jumat, 30 Juli 2010

Tari Sakral Jangan Dipentaskan Sembarangan

Denpasar Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr I Gde Parimartha MA, mengingatkan seniman Bali dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk tidak mementaskan tari-tari sakral secara sembarangan untuk memenuhi keinginan pihak-pihak tertentu.

"Tari sakral hanya dipentaskan untuk melengkapi kegiatan ritual masyarakat desa adat setempat," kata dosen senior Fakultas Hukum Unud Prof Gde Parimartha di Denpasar Minggu.

Hal itu diungkapkan karena "perang pandan", tradisi khas masyarakat Desa Tenganan, Kabupaten Karangasem, Bali timur dipentaskan untuk memeriahkan salah satu kegiatan di Solo.

Pementasan ritual "perang pandan" itu di luar wilayah desa adat Tenganan itu sebenarnya tidak perlu terjadi, jika masyarakat dan semua pihak menjunjung dan menghormati nilai-nilai kesakralan dalam ritual Hindu di Bali.

"Bisa saja seniman mengambil inspirasi dari `Perang pandan` untuk menciptakan tabuh dan tari guna dipentaskan dalam berbagai kepentingan," ujar Prof Parimartha.

Ia mengingatkan, kesakralan dari sebuah tari itu harus dipegang teguh oleh masyarakat pendukung, agar tetap kokoh, lestari dan unik, karena kesenian tradisi itu tidak ada di tempat lainnya.

"Ke depan masalah itu diharapkan tidak terulang lagi, karena masyarakat umum maupun wisatawan yang ingin menyaksikan `perang pandan` bisa datang ke Desa Tenganan Pegringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali timur," ujarnya.

Masyarakat Desa Adat Tenganan Dauh Tukad, Kabupaten Karangasem kembali akan menggelar kegiatan tradisi "perang pandan" melibatkan puluhan orang dari dua kelompok yang saling berhadapan pada hari Jumat 30 Juli 2010.

Perang pandan tersebut dalam rangkaian kegiatan ritual Ngusaba Desa di desa adat Tenganan Dauh Tukad, kata Prof Parimartha juga juga tokoh masyarakat Desa Tenganan itu.

Tradisi perang pandan itu akan berlangsung mulai pukul 13.00 waktu setempat, sebelum kegiatan ritual "Ngusaba Desa" dimulai.

Tradisi perang pandan itu digelar masyarakat setempat secara berkesinambungan setiap tahun, sebagai rangkaian kegiatan "Ngusaba Desa" dan kali ini akan digelar munggu depan.

Sedikitnya 15 pasang dari kedua kelompok yang saling berhadapan itu terdiri atas anak-anak, pemuda dan orang tua.

Di tangannya masing-masing peserta yang akan tampil itu terdapat sebuah "senjata" pandan berduri yang akan dipergunakan untuk melukai tubuh lawannya dalam sebuah perang.

Parimartha menambahkan, "perang pandan" diiringi dengan alunan musik tradisional Bali (gamelan) makin keras suara gamelan, kedua pria yang saling berhadapan itu lebih semangat untuk saling menyerang.

Perang antardua kelompok itu diawasi oleh seorang wasit yang memimpin pertandingan tersebut. Ketika para pria bertemu dengan "musuhnya" dan masing-masing memegang satu ikat daun pandan berduri (satu ikat terdiri dari 20 batang) maka perang pun tidak bisa dihindari, ketika wasit memulai pertandingan tersebut.

Sumber : http://www.antaranews.com