Kamis, 21 Oktober 2010

Produk Warisan Budaya Produksi Batik Harus Digenjot

JAKARTA : Produksi batik nasional masih bisa ditingkatkan dari saat ini, sehingga bisa meningkatkan kontribusinya dalam ekspor produk tekstil.

Dengan ini, batik akan terus menjadi salah satu produk kreatif berbasis budaya bangsa yang menjadi andalan untuk menghasilkan devisa.

"Produk tekstil kita menyumbangkan devisa mencapai Rp 50 triliun ke kas negara. Batik adalah bagian dari industri tekstil, dan kapasitasnya bisa digenjot hingga empat kali lipat," kata Menko Kesra Agung Laksono saat membuka Seminar Dinamika Batik Indonesia dan Pameran Batik Ikon Budaya Bangsa di aula Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI) Depok, Rabu (6/10).

Menurut Agung Laksono, batik Indonesia merupakan salah satu ikon budaya hasil kearifan bangsa Indonesia. Diperkirakan lebih dari 800.000 perajin dan pengusaha batik tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia. "Potensi bisnisnya cukup besar, dan masih bisa digenjot untuk menambah devisa dari sektor industri kreatif berbasis budaya," tuturnya.

Agung Laksono juga meminta agar masyarakat tetap melestarikan produk batik yang telah dikukuhkan oleh United Nation of Education & Social Culture Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia nonbenda, salah satunya dengan berkomitmen terus memakai batik dalam berbusana, setidaknya satu hari dalam sepekan.

"Untuk hari pemakaian batik, kami serahkan kepada instansi pemerintah dan pemerintah daerah setempat. Apakah itu hari Senin, Selasa, atau Jumat. "Pemerintah pusat tidak akan mengatur hari pemakaian batik ini," kata Agung Laksono.

Dia juga mengajak masyarakat agar bangga dan cinta terhadap warisan budaya Indonesia, termasuk produk batik. "Kalau bukan kita sendiri yang menjaga warisan budaya, siapa lagi? Jangan sampai ada teknologi modern di luar negeri sana yang membuat desain dan motif seperti batik. Ini bisa menjadi ancaman atas kelanggengan batik nantinya," katanya.

Menurut Agung, para pakar dan pemerhati budaya berkumpul dan menuangkan pikirannya dalam seminar Dinamika Batik Indonesia 2010. Dengan ini diharapkan bisa merumuskan langkah konkret untuk menyelamatkan, melestarikan, dan memanfaatkan batik, terutama melalui inovasi dan kreativitas untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

"Melalui kegiatan pameran seperti ini, batik bukan sekadar didudukkan sebagai warisan budaya yang digelar secara seremonial, tetapi juga untuk digali dan dikembangkan menjadi kekuatan jati diri bangsa, sehingga mampu menjadi inspirasi bagi kemandirian ekonomi, memperkuat daya saing, dan meningkatkan peradaban bangsa," kata Agung Laksono.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, jumlah industri kecil dan menengah (IKM) batik mencapai 48.300 unit usaha yang menyerap 792.300 tenaga kerja dengan nilai ekspor 110 juta dolar AS.

Pengamanan Pasar
Selain di UI, seminar batik juga dilaksanakan di Kementerian Perindustrian, yang juga menggelar pameran produk-produk batik unggulan.

Pada seminar ini, Staf Ahli Menteri Perindustrian Bidang Pemasaran dan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Fauzi Aziz mengatakan, jika ingin mamajukan dan meningkatkan daya saing industri nasional, maka Indonesia harus bisa mengonsolidasikannya dengan pasar dalam negeri. Pasar (konsumen) dalam negeri harus mengakui potensi produk (industri manufaktur hingga IKM) dalam negeri agar siap bersaing dengan produk impor.

Menurut Fauzi, jika pasar dalam negeri tidak terkelola dengan baik, maka akan menimbulkan kerugian bagi para pelaku industri di dalam negeri dan juga bangsa Indonesia secara umum. Di lain pihak, pemerintah juga harus siap mengevaluasi jika adanya indikasi gangguan pasar dalam negeri terhadap kegiatan importasi yang resmi maupun tidak resmi.

"Jangan dibiarkan ini menjadi perdebatan yang panjang dan saling menyalahkan. Begitu importasi ini mengganggu pasar dalam negeri, kita harus cepat melakukan evaluasi dan antisipasi. Ini dilakukan untuk menciptakan keadilan dalam perdagangan," ujarnya.

Dia lantas mencontohkan ketika Amerika Serikat (AS) mengalami krisis ekonomi di penghujung 2008. Seluruh pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan di negara adikuasa itu berjanji akan membangkitkan dan menyolidkan kembali perekonomian nasional dengan membuat Undang-Undang (UU) Industri Manufaktur.

"Udang-undang ini bertujuan agar basis-basis produksi di AS tersebut terkonsolidasi. Selain itu juga untuk mengamankan produk-produk andalan yang dianggap menguntungkan dalam kegiatan produksi di dalam negerinya. Seharusnya Indonesia juga seperti itu," ujar Fauzi.

Dia menjelaskan, jika kapasitas produksi dan perdagangan di dalam negeri kuat, sebaiknya pemerintah tidak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi transaksi dalam negeri. Ini dilakukan agar transaksi di dalam negeri dapat berkembang. Jika transaksi di dalam negeri berkembang, maka investasi pasti akan datang dan potensi penerimaan pajak akan terus meningkat.

"Contohnya PT Pindad dan PT Krakatau Steel. Kedua perusahaan ini seharusnya diberi stimulus, didorong untuk efisiensi produksi serta biaya produksi juga terjaga. Jadi stimulus jangan diberikan pada kegiatan impor seperti saat ini pada kebijakan bea masuk ditanggung pemerintah atau pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah," ucapnya.

Fauzi lantas berharap agar semua pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan di Indonesia bisa duduk bersama untuk merumuskan kebijakan dalam melindungi kegiatan produksi dan perdagangan di dalam negeri. Jika masih terpisah-pisah, maka jangan harap perekonomian Indonesia akan bisa bangkit. "Jadi, globalisasi itu jangan dilawan, tapi harus kita siasati," ujarnya.

Apalagi alokasi dana untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri, khususnya melalui anggaran belanja modal dan barang kementerian/lembaga negara, terus meningkat. Jika pada APBNP 2010 nilai belanja modal dan barang sebesar hampir Rp 200 triliun, maka pada APBN 2011 mencapai Rp 253 triliun. (Singgih BS/Andrian)

Sumber : http://www.suarakarya-online.com