Kamis, 28 Juli 2011

Kajian Arkeologi Mengenai Keraton Surosowan Banten Lama, Banten

Oleh R. Cecep Eka Permana

Abstrak
Penelitian ini adalah kegiatan arkeologi, baik kegiatan lapangan maupun non-lapangan. Fokus penelitian ini adalah mengetahui bentuk, penataan, dan fungsi ruang dan atau bangunan, khususnya struktur bangunan bagian bawah yang masih tampak di dalam Keraton Surosowan. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan metode ekskavasi, studi kepustakaan, analisis artefak dan fitur, analisis khusus, serta rekonstruksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis peta kuno, Keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian keraton sekarang ini hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan. Berdasarkan sisa ubin dalam tiap ruang, diperoleh rekonstruksi ukuran dan pola pasang ubin pada tiap ruang di kompleks keraton. Diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan fondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, fungsi bangunan yang diketahui adalah tempat tinggal sultan dan keluarga, bangsal terima tamu, kolam Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas.

Abstract
This research intrinsically is about activity of field and non-field archaeology. Focus of this research is to know form, settlement, and room function and/or building specially undercarriage building structure which still can be seen in Surosowan keraton. Methods used for the research are excavation, bibliography study, artifact and feature analysis, special analysis, and reconstruction. The result may indicate that, according to ancient map analysis, Surosowan keraton at least have experienced of five development phase. Excavation can only show the existence of is biphase of development pursuant to building structure indication which is overlap. According to tiling remains in every room, this research can reconstruct measure and pattern of tiling installation at every room in complex of keraton. The Research also obtain data to reconstruct building wall brick couple pattern and foundation at building in complex of keraton. Meanwhile, according to field observation is also obtained an assumption for some building function which have been shown, like sultan’s residence, audience hall, garden pool of Roro Denok, and bath of Pancuran Mas.

Keywords: Archaeology, excavation, reconstruction, palace

1. Pendahuluan
Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting karena keraton merupakan bangunan inti suatu kerajaan yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Selain itu, sesuai dengan pandangan kosmologis dan religiusmagis, keraton dianggap pula sebagai pusat kekuatan gaib yang berpengaruh pada seluruh kehidupan masyarakat.

Keraton juga dipandang sebagai lambang kekuasaan raja dan merupakan tiruan (replika) alam semesta (Behrend, 1982:170–172). Dengan demikian, apabila raja dianggap sebagai pribadi yang memusatkan kekuatan dan kekuasaannya, maka keraton merupakan institusi pendamping dalam proses pemusatan itu. Keraton tidak hanya dihayati sebagai pusat politik dan budaya, melainkan juga sebagai pusat keramat kerajaan (Heine-Geldern, 1982:6).

Salah satu keraton di Indonesia yang memegang peranan penting dalam percaturan sejarah masa lalu adalah Keraton Surosowan. Keraton ini merupakan pusat Kerajaan Banten pada abad XVI–awal XIX Masehi. Dalam perjalanan sejarahnya, Keraton Surosowan mengalami pasang surut. Keraton ini pertama kali dibangun pada masa Sultan Hasanuddin (1552–1570), tetapi kemudian hancur dan dibuat kembali oleh Sultan Haji tahun 1680–1681. Pada tahun 1808, keraton ini mengalami kehancuran kembali oleh Belanda. Sejak saat itu, Keraton Surosowan hanya tinggal puing-puingnya saja. Sekarang, sebagian besar sisa-sisa bangunan masih terpendam di dalam tanah, dan hanya sebagian kecil yang sudah dimunculkan lewat beberapa kali ekskavasi yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dan Universitas Indonesia sejak 1967. Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa sisa-sisa bangunan yang menarik dan masih dapat diamati antara lain tembok keliling, struktur fondasi bangunan, struktur lantai, saluran air, kolam pemandian, dan sisa bangunan lainnya.

Sisa-sisa keraton Suruosowan yang masih dapat diamati di lapangan saat ini adalah pada bagian tengah keraton mulai dari dinding utara hingga dinding selatan. Sisa-sisa keraton itu berupa struktur bangunan bagian bawah seperti fondasi, lantai, jalan (gang), saluran, dan bangunan air. Dari sisa-sisa tersebut ada yang masih jelas terlihat bentuknya, namun sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Walaupun demikian, temuan ini tetap penting untuk dikaji dalam rangka mengungkapkan bentuk, penataan, dan fungsi ruang di dalam Keraton Surosowan.

Secara umum tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui bentuk, ukuran, orientasi, dan keletakan bangunan dan atau struktur bangunan, (2) untuk mengetahui penataan ruang dan sebaran data sehingga diketahui fungsi data yang diteliti, dan (3) membuat rekonstruksi struktur bangunan, khususnya struktur bangunan bawah. Sedangkan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada instansi yang terkait dalam rangka bina-ulang (rekonstruksi) Keraton Surosowan yang kini tinggal sisa-sisanya saja. Pembinaulangan Keraton Surosowan ini, selain merupakan tambahan data dalam sejarah kebudayaan Indonesia, juga diharapkan bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk menjadikan aset wisata budaya ini lebih memiliki daya tarik lagi, serta bagi masyarakat diharapkan bermanfaat menambah pengetahuan dan apresiasi mereka terhadap peninggalan nenek moyang yang tiada ternilai ini.

2. Metode Penelitian
a. Lingkup Penelitian
Penelitian ini mengkaji sebaran dan hubungan lokasional struktur bangunan dan temuan-temuan arkeologis lainnya di dalam situs Keraton Surosowan dengan tembok keliling (benteng) sebagai batas situsnya. Khusus untuk fokus struktur bangunan keraton, lingkup masa dibatasi terutama pada kurun abad XVIII hingga awal XIX Masehi. Hal ini disebabkan masa ini merupakan pembangunan terakhir Keraton Surosowan hingga keruntuhannya. Sementara itu, untuk gambaran Keraton Surosowan dari awal keberadaannya, dikaji juga sumber-sumber dari masa yang lebih awal yakni mulai abad XVI. Bukti-bukti fisik tentang Keraton Surosowan yang tersisa sekarang adalah gambaran dari Keraton Surosowan pada bentuknya yang terakhir.

b. Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data lapangan dan data non-lapangan (kepustakaan). Data lapangan dalam penelitian ini adalah sisa-sisa peninggalan arkeologis berupa struktur dan unsur bangunan, serta benda-benda arkeologis lainnya. Data lapangan itu sekarang sebagian masih terpendam di dalam tanah dan sebagian lagi sudah ditampakkan sebagai hasil ekskavasi yang dilakukan sebelumnya. Penentuan lokasi yang akan diteliti (ekskavasi) mengacu pada penelitian-penelitian terdahulu dan hasil survei yang dilakukan dalam rangka penelitian ini. Perolehan data tersebut akan dilakukan lewat serangkaian kegiatan survei, pengupasan, dan ekskavasi. Pada tahap ini, fokus penelitian terutama diarahkan pada pengumpulan data fisik bangunan berupa unsur-unsur dan struktur bangunan untuk mengetahui bahan, bentuk, ukuran, orientasi, serta pola, dan sebaran ruang. Sementara itu, data non-lapangan yang digunakan dalam penelitian ini berupa peta atau gambar kuno, naskah atau babad kuno, berita-berita asing, arsip, dan sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan topik dan permasalahan penelitian.

c. Pengolahan Data
Pada tahap pengolahan data ini dilakukan analisis yang mencakup: (1) analisis bangunan, berupa bahan bangunan, bentuk dan susunan struktur bangunan, dan tata ruang bangunan. (2) analisis kontekstual, berupa kajian sebaran dan hubungan lokasional dan fungsional unsur bangunan dan bangunan, serta antarbangunan, terutama berfokus pada struktur bagian bawah bangunan.

d. Penafsiran Data
Pada tahap penafsiran data ini akan dilakukan kegiatan: (1) analogi data lapangan dengan kompleks keraton yang memiliki karakteristik yang hampir sama dan sezaman melalui studi kepustakaan. (2) pembuatan gambar rekonstruksi Keraton Surosowan, khususnya struktur bangunan bagian bawah.

3. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan beberapa bukti dari literatur kuno dan prasasti di Asia Tenggara (termasuk Indonesia), Robert von Heine-Geldern berpendapat bahwa ada kaitan yang erat antara pandangan kosmologi dengan pendirian sebuah kota. Bahkan, unsur-unsur kosmologi dan religius magis tersebut mempengaruhi penataan kota hingga ke intinya, yaitu keraton (Tjandrasasmita, 1993:216).

Dalam pandangan orang Indonesia pada masa kuno, raja dianggap sebagai seorang tokoh yang diidentikan dengan dewa (Bosch, dalam Tjandrasasmita, 1993:217). Pada masa pengaruh Islam, unsur-unsur tersebut masih tetap ada, di mana sultan juga dianggap seorang tokoh yang menguasai masyarakat hidup dan dapat menghubungkannya dengan masyarakat gaib. Hal itu dapat kita saksikan dari tradisi pemberian gelar-gelar pangeran, susuhunan, panembahan, bahkan kepada beberapa orang sultan atau raja. Selain itu, setelah raja atau sultan wafat, makamnya pun sering dikunjungi orang dengan tata cara adat sebagaimana orang menghadap kepada raja atau sultan yang masih berkuasa (Tjandrasasmita, 1993:217–218).

Pada bagian lain, Heine-Geldern mengungkapkan bahwa pendirian keraton atau inti kota kerajaan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) pada masa pengaruh Islam dihubungkan dengan simbol meru dalam tradisi pra-Islam seperti dalam mitologi Hindu. Dalam konsep tersebut, pusat (keraton) dilingkari atau dikelilingi oleh parit atau sungai-sungai buatan di samping sungai alamiah. Sementara itu, tata kotanya menurut W.F. Wertheim, dibuat secara tradisional dan direncanakan oleh penguasa yang tertinggi. Dalam penataan itu, alun-alun yang berada di tengah, masjid di sebelah barat, dan keraton di sebelah selatan merupakan struktur pusat kota. Jalan-jalan dan jalur transportasi lain dibuat lurus berpotongan membentuk bujur sangkar menuju pusat (Tjandrasasmita, 1993:218).

Gambaran keadaan keraton di atas tercermin pula dalam Keraton Surosowan. Sekarang, Keraton Surosowan terletak di kampung Kasemen, Kecamatan Kasemen, (kawasan Banten Lama) Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Kawasan Banten Lama merupakan salah satu bagian dari Daerah Kabupaten tingkat II Serang, (sekarang Provinsi Banten) berjarak 10 km ke arah utara kota Serang. Kota Banten Lama berada pada daerah Teluk Banten, dan terletak di dua wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Kasemen dan Kramatwatu, dengan luas kawasan sekitar 18,5 km² (Widodo, 1995:140).

Nama Keraton Surosowan diberikan oleh Sultan Hasanuddin atas petunjuk dari ayahnya Sunan Gunung Jati. Orang Belanda ada yang menyebut Keraton Surosowan dengan “Fort Diamont” atau Kota Intan (Michrob, 1993). Sementara itu dalam Sajarah Banten, Keraton Surosowan disebut juga dengan “Gedong Kedaton Pakuwuan” (Djajadiningrat, 1983). Berdasarkan Sejarah Banten, Keraton Surosowan dibangun pertama kali pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin (1552–1570), sedangkan tembok kelilingnya (benteng) yang terbuat dari bata dan karang dibangun oleh Maulana Yusuf (1570–1580). Pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1672) keraton ini hancur akibat terjadi peperangan dengan Sultan Haji yang dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1678) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah. Pendirian keraton ini dikerjakan oleh arsitek Belanda bernama Hendrick Lucazs Cardeel tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga Keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832. Sebagian material bangunannya diambil untuk membangun bangunan Belanda lainnya (Ambary, 1980; Djajadiningrat, 1983; Guillot, 1990).

Menurut laporan orang-orang Belanda, dinding kediaman Sultan Banten dibuat dari bata dan dibangun lebih tinggi dari daerah sekitarnya serta diberi tembok keliling (benteng). Atapnya bersusun dua terbuat dari genteng. Selain tempat tinggal sultan, di dalam benteng terdapat pula bangunan-bangunan untuk istri dan kerabat sultan. Tempat kediaman sultan sendiri berbentuk empat persegi panjang dan terletak berdekatan dengan kolam Pancuran Mas. Bangunan-bangunan di dalam Keraton Surosowan itu dibuat dengan menggunakan bata dan batu karang. Di bagian lain terdapat beberapa kandang kuda dan tempat keretanya (lihat Ambary, 1980; Guillot, 1990).

Selain dilakukan oleh instansi pemerintah, penelitian lain berkaitan dengan Keraton Surosowan ini antara lain meliputi wadah pelebur logam (Mundardjito, 1977); penelitian gerabah (Sudjana, 1978); penelitian keramik (Ongkodharma, 1978; Harkantiningsih, 1980); foto udara (Widya, 1989); sisa-sisa pertukangan logam (Siswandhi, 1980); teknologi air bersih (Prachmatika, 1984); mata uang (Widiyono, 1984); teknologi alat-alat besi (Ginanjar, 1987); meterai kesultanan (Sudewo, 1985); artefak pelandas (Pojoh, 1980); dan ekologi (Ongkodharma, 1982).

4. Hasil dan Pembahasan
Keraton merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan. Seperti halnya keraton pada umumnya di Jawa, Keraton Surosowan juga memiliki makna ganda, yakni sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan lainnya, dan sebagai pusat kerajaan–dalam hal ini kerajaan Banten. Mengikuti pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, Keraton Surosowan juga merupakan pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak di sebelah utara keraton, Masjid Agung Banten di sebelah barat keraton, Pasar Karangantu di sebelah timur, dan pelabuhan berada di sebelah utara.

Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), Keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, Keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah. Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.

Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga Keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832.

Dari hasil penelitian lapangan diketahui bahwa sisa-sisa struktur bangunan Keraton Surosowan baru berhasil dimunculkan lewat serangkaian penelitian arkeologi pada bagian tengah keraton. Sementara itu, sisi sebelah barat dan timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Khusus untuk struktur yang telah tampak dipermukaan, karena meliputi areal yang cukup luas dan temuan yang cukup padat, maka dibagi menjadi sembilan sektor (Sektor A– I).

Dari analisis struktur bangunan, diketahui bahwa terdapat beberapa tipe fondasi yang digunakan di Keraton Surosowan. Tipe yang banyak digunakan adalah tipe yang terdiri atas enam lapisan; dua lapisan terbawah menggunakan karang berbentuk kotak seadanya, dan empat lapisan di atasnya menggunakan bahan bata. Tiap lapisan disusun sedikian rupa sehingga tersusun secara simetris makin ke atas makin mengecil (tipe E dan F).

Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata utuh sedemikian rupa sehingga dari sisi luar dinding terlihat: lapis pertama berupa susunan sisi tebal-panjang bata (strek), lapis kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapis ketiga kembali sama seperti lapis pertama, lapis keempat sama dengan lapis kedua, dan seterusnya. Sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang).

Dari analisis struktur bangunan juga diketahui bahwa Keraton Surosowan yang tampak sekarang ini juga dibangun secara bertahap. Tahapan itu terlihat pada gejala penambahan ruang, penutupan struktur untuk peninggian lantai. Gejala ini terutama terlihat pada struktur bangunan pada sektor A (ruang A.5 dan A.11), dan sektor B (ruang B.1).

Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok (kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda. Berdasarkan data lapangan di dalam keraton yang masih terlihat dapat dikatakan bahwa bangunan yang dianggap sama hanyalah: kolam Roro Denok (sektor D) dan kolam Pancuran Mas (sektor G).

Bangunan kediaman sultan terletak antara kolam Pancuran Mas, yakni bangunan pada sektor E. Bagian utara (depan) sektor ini terdapat 20 umpak sebagai dasar tiang, terdiri atas 12 umpak di sisi barat dan 8 umpak di sisi timur.

Mungkin dua kelompok umpak ini dahulunya merupakan dua bangunan panggung yang saling berhadapan. Di tengah “halaman” antara dua kelompok umpak tadi terdapat sisa struktur lengkung tapal kuda, yang diduga reruntuhan gapura di depan bangunan ini. Di sebelah selatan (belakang) sektor ini terdapat ruangruang dan kolam mandi dengan tangga ke dalamnya. Selain itu, madhebahan menurut naskah G LOr 27389 adalah gapura besar keraton; madhemundu dan madegayam adalah pos jaga yang terdapat di madhebahan; dan didekat madhegayam terdapat sitiluhur yang letaknya bersebelahan dengan gudang senjata dan kandang kuda.

Secara keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak Keraton Surosowan berbeda dengan Keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada Keraton di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka Keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di dalam benteng terdapat (a) istana sultan, (b) kolam Roro Denok, (c) Datulaya, (d) kolam Pancuran Mas, (e) gerbang utara, dan (f) gerbang timur. Sementara, di luar benteng terdapat (a) alun-alun, (b) watu gilang, (c) Masjid Agung Banten, (d) bangunan Tiyamah, (e) srimanganti, (f) meriam Ki Amuk, dan (g) baledana.

Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bangunan di dalam benteng sebelah kanan/barat (sektor A) berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan. Bangunan di depan gerbang sebagai bangunan utama ‘kantor’ dan aktivitas sultan (sektor B sisi barat), dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kerajaan (sektor B sisi timur), serta sebagai tempat kediaman kerabat sultan (sektor B sisi selatan). Di sebelah timur sektor B, terdapat kediaman sultan (sektor E) dan taman kolam Roro Denok dengan bale kambangnya di depannya (sektor D). Bangunan-bangunan pada sisi selatan keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian, dan bak pengaturan air kotor (sektor G), serta sebagai bangunan ‘karyawan’ keraton (sektor H).

5. Kesimpulan
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis peta kuno, Keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan berdasarkan indikasi struktur bangunan yang tumpang tindih. Berdasarkan sisa lantai dalam tiap ruang diketahui terbuat dari bahan ubin atau tegel semen berglasur merah, dan bata, serta dapat direkonstruksi ukuran, dan pola pasangnya pada tiap ruang di kompleks keraton. Di samping itu diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan fondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh asumsi beberapa fungsi bangunan yang telah ditampakkan, seperti tempat tinggal sultan, bangsal terima tamu, kolam taman Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas untuk para kerabat keraton.

R. Cecep Eka Permana, Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Referensi:
Behrend, Timothy Earl. 1982. Kraton and Cosmos in Traditional Java. A Thesis submitted in Partial Fulfillment of the Requirements for the degree of Master of Arts (History) at the University of Wisconsin-Madison.
Heine-Geldern, Robert von. 1982. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara. a.b. Deliar Noer. Jakarta: Bhratara
Tjandrasasmita, Uka (ed.). 1993. Sejarah Nasional Indonesia jilid III. Jakarta: Balai Pustaka.
Widodo, Agus. 1995. “Kebijaksanaan Pembangunan Kawasan Banten Lama”, dalam Banten Kota Pelabuhan Jalan Sutra. Jakarta: Ditjarahnitra, hal. 140–145.
Michrob, Halwany, dan Chudari, A. Mudjahid. 1993. Catatan Masa Lalu Banten. Serang: Saudara.
Djajadiningrat, Hoesein. 1983. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten (transl). Jakarta: Penerbit Jambatan.
Ambary, Hasan Muarif. 1980a. “Tinjauan tentang Penelitian Perkotaan Banten Lama” dalam Prosiding Pertemuan Ilmiah Arkeologi I, Jakarta: Proyek Penelitian Purbakala, hal. 443–469.
Ambary, Hasan Muarif. 1980b “Catatan Singkat Kepurbakalaan Banten Lama”, dalam Analisis Kebudayaan Th. I No. 1, hal. 117–127.
Guillot, Claude. 1990. The Sultanate of Banten. Jakarta: Gramedia
Moendardjito. 1977. Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala Peninggalan Nasional.
Siswandi, Ronny. 1980. Sisa-sisa Kegiatan Pertukangan Logam di Banten Lama: Sebuah Analisis Hasil Penggalian 1976. Jakarta: Skripsi Sarjana FSUI.
Harkantiningsih M.Th. 1980. Keramik di Situs Pabenan Banten: Sebuah Peneltian Pendahuluan. Jakarta: Skripsi Sarjana FSUI.
Ongkodharma, Heriyanti. 1978. Kramik di Situs Arkeologi Banten: Suatu Pembahasan Data Ekskavasi Tahun 1976. Jakarta: Skripsi Fakultas Sastra UI.
Prachmatika. 1984. Bangunan-Bangunan Air Bersih di Banten Lama. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Widiyono, Priyo. 1984. Mata Uang Logam di Situs Keraton Surosowan, Banten Lama. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Ginanjar. 1987. Analisis Artefak dan Terak Besi dari Situs Surosowan Banten Lama: Penerapan Beberapa Metode Laboratorium. Depok: Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UI.
Pojoh, Inggris Harriet Eileen. 1980. Pelandas Banten Lama: Sebuah Penelitian Pendahuluan Teknologi Gerabah. Jakarta: Skripsi Sarjana Fakultas Sastra UI

Sumber Artikel:
Jurnal Makara, Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004, Halaman: 112-119