Matahari sudah tergelincir ke arah barat di dermaga kecil itu ketika Khalid menyeberang dari Mantang menuju Sungai Enam, Kijang. Ia naik pompong, satu-satunya transportasi laut yang menghubungkan Mantang Kayu Arang dengan Kijang.
Khalid (77) punya agenda besar pada malam di minggu ketiga Mei 2009 itu; menghadiri acara Anugerah Seni Bulang Linggi di Gedung Daerah, Tanjungpinang. Beberapa hari sebelumnya, Dewan Kesenian Provinsi Kepri telah menghubunginya. Dari tiga nominator, Khalid berhasil meraih Anugerah Bulang Lingga dalam kategori pelestari seni tradisional.
Khalid pun berhak membawa pulang penghargaan bersama uang tunai Rp 10 juta. Dan di senja usianya itu, kembali warga Kepri diingatkan pada Khalid, sosok yang tak pernah letih mempertahankan Mak Yong dari ancaman kepunahan di Tanah Bintan.
Ini bukan penghargaan pertama yang diterimanya. Pertengahan 1977, saat usia Khalid baru 45 tahun, untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupnya, ia mendapat penghargaan dari Presiden Suharto, yang saat itu masih berkuasa. Penghargaan yang diberi nama Piagam Hadiah Seni Presiden RI diberikan kepada Khalid atas jasanya terhadap negara dalam pengembangan teater tradisional di Kepri.
Piagam itu kini terbingkai rapi, dan digantung di ruang tamu rumahnya. Ada tanda tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Syarif Thajeb di situ. Baginya, pemberian piagam mempunyai kesan mendalam. Selain sebagai pengakuan atas karyanya, momen tersebut menjadi pengalaman pertama Khalid naik pesawat terbang.
Ya, undangan sang presiden ke Jakarta untuk mengambil piagam itulah yang akhirnya membuat Khalid bisa merasakan bagaimana rasanya jantung berdesir kencang sewaktu roda pesawat mulai meninggalkan landasan.
Pada hari bersejarah itu, bersama 24 orang pemain Mak Yong dari Mantang Kayu Arang, mereka berangkat naik burung besi ke Jakarta. Tapi kini, 24 orang di antaranya sudah meninggal. Tinggal Khalid sendiri yang tersisa. "Gara-gara Mak Yong, kami naik pesawat ke Jakarta. Jujur, Datuk nenek kami dulu mana pernah naik pesawat," ujarnya.
Kisah Dua Pemuda Mantang
Kisah Mak Yong di Kepri ternyata bermula dari Provinsi Narathewat, Thailand Selatan. Zaman itu dulunya pernah berdiri Kerajaan Patani, yang memiliki akar keislaman, sama seperti kerajaan-kerajaan Melayu di kawasan semenanjung Melaka. Dari Thailand Selatan, Mak Yong kemudian menyebar ke Kelantan, Malaysia, yang memang berdekatan. Setelah itu, Mak Yong terus menyebar ke arah selatan Tanah Melayu, sampai ke gugus pulau-pulau kecil yang kini disebut Kepri.
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia, Pudentia MPSS memperkirakan Mak Yong yang kini ada di Mantang, berasal dari Kelantan. "Mak Yong yang di Indonesia berasal dari Kelantan masuk ke Kepulauan Riau melalui Tumasik (Singapura)," kata Pudentia. "Mengapa pindah dari Singapura ke Mantang, karena salah seorang tetuanya, Mak Ungu, berasal dari Singapura."
Pudentia menjelaskan, Mak Yong berasal dari seni tradisi di Kerajaan Patani, dan menyebar ke Kelantan. Namun Pudentia menggaris bawahi, penyebaran Mak Yong ini sama sekali tidak terkait dengan masuknya penjajah Eropa ke Asia.
Aswandi Syahri, penulis buku-buku sejarah Melayu di Kepri, menjelaskan, kisah itu bermula pada 1780, dua pemuda asal Mantang, Encik Awang Keladi dan Encik Awang Durte pergi ke Kelantan untuk mencari jodoh.
Takdir mempertemukan jodoh mereka dengan gadis Kelantan. Lepas nikah, mereka menetap di Pulau Tekong, perbatasan Johor dengan Singapura. Mereka bercerita kepada penduduk bahwa adak kesenian Mak Yong di Kelantan. Penduduk Pulau Tekong yang tertarik, pun kemudian sepakat belajar Mak Yong ke Kelantan pada 1781.
Delapan tahun kemudian, penduduk Pulau Tekong berhasil menggelar pementasan pertama Mak Yong. Setelah itu, Mak Yong pun semakin berkembang, hingga kabar pun terdengar oleh telinga Sultan Mahmud Syah III (1757-1811), Sultan dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Sultan mengundang pemain Mak Yong untuk pentas di Pulau Penyengat. Dari titik itulah, Mak Yong kemudian masuk ke sejumlah gugus pulau di Kepri, termasuk kemudian berkembang di pusat kerajaan yang berada di Daek. (Trisno Aji Putra)
Sumber: http://www.tribunbatam.co.id
Khalid (77) punya agenda besar pada malam di minggu ketiga Mei 2009 itu; menghadiri acara Anugerah Seni Bulang Linggi di Gedung Daerah, Tanjungpinang. Beberapa hari sebelumnya, Dewan Kesenian Provinsi Kepri telah menghubunginya. Dari tiga nominator, Khalid berhasil meraih Anugerah Bulang Lingga dalam kategori pelestari seni tradisional.
Khalid pun berhak membawa pulang penghargaan bersama uang tunai Rp 10 juta. Dan di senja usianya itu, kembali warga Kepri diingatkan pada Khalid, sosok yang tak pernah letih mempertahankan Mak Yong dari ancaman kepunahan di Tanah Bintan.
Ini bukan penghargaan pertama yang diterimanya. Pertengahan 1977, saat usia Khalid baru 45 tahun, untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupnya, ia mendapat penghargaan dari Presiden Suharto, yang saat itu masih berkuasa. Penghargaan yang diberi nama Piagam Hadiah Seni Presiden RI diberikan kepada Khalid atas jasanya terhadap negara dalam pengembangan teater tradisional di Kepri.
Piagam itu kini terbingkai rapi, dan digantung di ruang tamu rumahnya. Ada tanda tangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Syarif Thajeb di situ. Baginya, pemberian piagam mempunyai kesan mendalam. Selain sebagai pengakuan atas karyanya, momen tersebut menjadi pengalaman pertama Khalid naik pesawat terbang.
Ya, undangan sang presiden ke Jakarta untuk mengambil piagam itulah yang akhirnya membuat Khalid bisa merasakan bagaimana rasanya jantung berdesir kencang sewaktu roda pesawat mulai meninggalkan landasan.
Pada hari bersejarah itu, bersama 24 orang pemain Mak Yong dari Mantang Kayu Arang, mereka berangkat naik burung besi ke Jakarta. Tapi kini, 24 orang di antaranya sudah meninggal. Tinggal Khalid sendiri yang tersisa. "Gara-gara Mak Yong, kami naik pesawat ke Jakarta. Jujur, Datuk nenek kami dulu mana pernah naik pesawat," ujarnya.
Kisah Dua Pemuda Mantang
Kisah Mak Yong di Kepri ternyata bermula dari Provinsi Narathewat, Thailand Selatan. Zaman itu dulunya pernah berdiri Kerajaan Patani, yang memiliki akar keislaman, sama seperti kerajaan-kerajaan Melayu di kawasan semenanjung Melaka. Dari Thailand Selatan, Mak Yong kemudian menyebar ke Kelantan, Malaysia, yang memang berdekatan. Setelah itu, Mak Yong terus menyebar ke arah selatan Tanah Melayu, sampai ke gugus pulau-pulau kecil yang kini disebut Kepri.
Ketua Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Indonesia, Pudentia MPSS memperkirakan Mak Yong yang kini ada di Mantang, berasal dari Kelantan. "Mak Yong yang di Indonesia berasal dari Kelantan masuk ke Kepulauan Riau melalui Tumasik (Singapura)," kata Pudentia. "Mengapa pindah dari Singapura ke Mantang, karena salah seorang tetuanya, Mak Ungu, berasal dari Singapura."
Pudentia menjelaskan, Mak Yong berasal dari seni tradisi di Kerajaan Patani, dan menyebar ke Kelantan. Namun Pudentia menggaris bawahi, penyebaran Mak Yong ini sama sekali tidak terkait dengan masuknya penjajah Eropa ke Asia.
Aswandi Syahri, penulis buku-buku sejarah Melayu di Kepri, menjelaskan, kisah itu bermula pada 1780, dua pemuda asal Mantang, Encik Awang Keladi dan Encik Awang Durte pergi ke Kelantan untuk mencari jodoh.
Takdir mempertemukan jodoh mereka dengan gadis Kelantan. Lepas nikah, mereka menetap di Pulau Tekong, perbatasan Johor dengan Singapura. Mereka bercerita kepada penduduk bahwa adak kesenian Mak Yong di Kelantan. Penduduk Pulau Tekong yang tertarik, pun kemudian sepakat belajar Mak Yong ke Kelantan pada 1781.
Delapan tahun kemudian, penduduk Pulau Tekong berhasil menggelar pementasan pertama Mak Yong. Setelah itu, Mak Yong pun semakin berkembang, hingga kabar pun terdengar oleh telinga Sultan Mahmud Syah III (1757-1811), Sultan dari Kerajaan Riau-Lingga-Johor dan Pahang. Sultan mengundang pemain Mak Yong untuk pentas di Pulau Penyengat. Dari titik itulah, Mak Yong kemudian masuk ke sejumlah gugus pulau di Kepri, termasuk kemudian berkembang di pusat kerajaan yang berada di Daek. (Trisno Aji Putra)
Sumber: http://www.tribunbatam.co.id