Selasa, 26 Januari 2010

Penulis Prancis Kritik Sudut Pandang Seniman Indonesia

Surabaya - Penulis asal Prancis, Jean Couteau mengkritik sudut pandang seniman Indonesia yang melihat dunia dari Kacamata Barat. "Seni rupa kontemporer khas China dan India begitu diapresiasi. Identitas lokal tumbuh di lahan global, namun apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya," katanya di Surabaya, Sabtu.

Ia mengungkapkan hal itu saat berbicara dalam simposium internasional tentang budaya urban bertajuk "The 2nd International Symposium, Urban Studies: Arts, Culture, and History" yang digelar Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.

Dalam simposium yang juga menampilkan peneliti Jawa, Romo Koentoro Wirjomartono, dan periset pustaka dari Belanda, Freek Colombijn (Vrije University), ia mengatakan prediksi McLuhan tentang "Global Village" atau "World City" tidak berlaku untuk budaya.

"Budaya itu tidak mudah menjadi global. Faktanya, apa yang terjadi di Eropa dan di Indonesia justru terbalik," ucapnya menegaskan.

Di Eropa, seni komtemporer menghadirkan seni rupa lokal dalam konteks kekinian, seperti seni rupa kontemporer khas China dan India.

"Tapi, apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, karena 80-90 persen seni rupa di Indonesia mengkonstruksi diri dengan ikon-ikon dunia modern kapitalis," paparnya.

Penulis Prancis yang lebih fasih berbahasa Indonesia dibandingkan dengan Bahasa Inggris itu menilai, seniman seni rupa di Indonesia hanya bisa melihat dunia dari kacamata barat.

"Kalau pun ada ikon lokal yang digunakan hanyalah sebagai pelengkap, sampingan dari objek global yang diutamakan. Anda, sebagai bangsa Indonesia, akan kehilangan ikon-ikon lokal, karena dilahap kapitalisme jika tak mau mengganti kacamata itu," tuturnya.

Senada dengan itu, periset pustaka dari Belanda, Freek Colombijn, mengaku prihatin dengan ruang atau tempat publik dan ikon-ikon publik setempat di Indonesia yang tak mengindahkan simbol-simbol.

"Di Indonesia, bendera yang dibawa pejuang juga dibuat dari beton. Di AS, Singapura, bendera itu bendera biasa yang diganti jika kusam. Ia akan selalu hidup, karena ada sesuatu yang hidup dan berganti, sehingga simbol lokal itu tidak kaku, namun berfungsi sebagai pengingat sejarah," katanya.

Pandangan pakar dari Prancis dan Belanda itu dibenarkan Koentoro Wirjomartono yang tampil dengan mengajak para pakar sajen dan karawitan FIB Unair untuk mengiringi dirinya saat memberikan materi.

"Lupa itu sumbernya. Kita sering amnesia bahwa kearifan lokal atau jati diri ini yang harus dijaga. Bukan pasar yang harus dijaga untuk menyokong seni, budaya dan sejarah," ujarnya menjelaskan.(*)

Sumber: http://www.antaranews.com