Barabai - Seiring perkembangan zaman dan kemajuan tekhnologi sekarang ini, seni dan budaya yang ada di masyarakat adat Dayak Meratus, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan (Kalsel), disinyalir diambang kepunahan.
Menurut Kepala Adat Dayak Meratus, Mido Basmi di Desa Hinas Kanan, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Selasa (23/2/2010), mengatakan, sekarang budaya asli setempat hampir tak dikenal lagi dan nyaris punah.
“Contohnya seperti kesenian Bahilai, sekarang hampir tak dikenal lagi oleh masyarakat adat Dayak Meratus di HST,” katanya di Barabai.
Kesenian Bahilai, adalah tarian khas adat Dayak yang digelar saat mengiringi prosesi menamam padi atau pada masyarakat setempat dikenal dengan istilah Manugal. Bahilai biasanya dibawakan oleh kaum laki-laki Dayak bersama-sama dengan kaum wanita yang bekerja diladang dan huma mereka.
Pada praktiknya, kesenian Bahilai menggunakan media bambu panjang yang pada pangkalnya diruncingkan sedang pada bagian ujungnya dibentuk seperti alat musik Angklung.
“Bambu panjang itu berfungsi sebagai tongkat untuk melubangi tanah tempat memasukkan bibit padi. Setiap kali digerakkan, bambu akan mengeluarkan suara dan nada khas,” jelas Mido.
“Kaum lelaki Dayak melubangi tanah sambil menghentak-hentakkan bambu itu secara bergantian dan teratur sehingga menciptakan suara dan nada-nada indah,” tambahnya.
Sementara itu, para wanita Dayak memasukkan bibit padi kedalam lubang yang telah dibuat kaum lelaki menggunakan batang bambu tadi.
Namun kini, di kalangan masyarakat adat Dayak Meratus di HST, kesenian itu nyaris tak lagi dikenal dan tak pernah dipertunjukkan.
“Hanya para tetua adat yang mengetahui bila di kalangan masyarakat Dayak Meratus HST kesenian itu pernah ada. Sementara para pemuda Dayak kini tak mengenalnya,” ungkap Mido.
Selain di kalangan masyarakat adat Dayak Meratus, kesenian Bahilai juga dikenal oleh masyarakat adat Dayak Loksado di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Bedanya, pada masyarakat Dayak Loksado kesenian itu tetap terjaga dan masih dimainkan. Bahkan pemerintah daerah setempat pada beberapa kesempatan sering mempertontonkan kesenian itu kepada khalayak.
Kondisi itu, katanya, bertolak belakang keadaannya dengan yang terjadi pada masyarakat adat Dayak Meratus, dimana pemerintah daerah setempat tidak mengakomodasi keberadaan kesenian adat Dayak yang ada.
Masyarakat adat sendiri bukannya tidak pernah mencoba untuk melestarikan seni dan budaya mereka dimana sebuah kelompok seni pernah dibentuk di Desa Hinas Kanan, namun tak bertahan lama.
Melalui kelompok seni itu masyarakat adat mencoba mengembangkan dan melestarikan seni serta budaya mereka. Namun keterbatasan sarana dan prasarana pendukung membuat kaum muda Dayak enggan mengikutinya.
Saat pengelola kelompok seni mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk pengadaan kostum panggung, permintaan itu tidak direspon baik. Padahal mereka hanya meminta pengadaan baju Kabaya (Kebaya), sarung dan Kakamban (selendang).
Hingga akhirnya, satu-satunya kelompok seni yang pernah dibentuk itupun bubar.
Seiring dengan itu, tak ada lagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya adat Dayak Meratus, sehingga diambang kepunahan, papar Mido. ant Diba
Sumber: http://www.surya.co.id
Menurut Kepala Adat Dayak Meratus, Mido Basmi di Desa Hinas Kanan, Kecamatan Batang Alai Timur (BAT), Selasa (23/2/2010), mengatakan, sekarang budaya asli setempat hampir tak dikenal lagi dan nyaris punah.
“Contohnya seperti kesenian Bahilai, sekarang hampir tak dikenal lagi oleh masyarakat adat Dayak Meratus di HST,” katanya di Barabai.
Kesenian Bahilai, adalah tarian khas adat Dayak yang digelar saat mengiringi prosesi menamam padi atau pada masyarakat setempat dikenal dengan istilah Manugal. Bahilai biasanya dibawakan oleh kaum laki-laki Dayak bersama-sama dengan kaum wanita yang bekerja diladang dan huma mereka.
Pada praktiknya, kesenian Bahilai menggunakan media bambu panjang yang pada pangkalnya diruncingkan sedang pada bagian ujungnya dibentuk seperti alat musik Angklung.
“Bambu panjang itu berfungsi sebagai tongkat untuk melubangi tanah tempat memasukkan bibit padi. Setiap kali digerakkan, bambu akan mengeluarkan suara dan nada khas,” jelas Mido.
“Kaum lelaki Dayak melubangi tanah sambil menghentak-hentakkan bambu itu secara bergantian dan teratur sehingga menciptakan suara dan nada-nada indah,” tambahnya.
Sementara itu, para wanita Dayak memasukkan bibit padi kedalam lubang yang telah dibuat kaum lelaki menggunakan batang bambu tadi.
Namun kini, di kalangan masyarakat adat Dayak Meratus di HST, kesenian itu nyaris tak lagi dikenal dan tak pernah dipertunjukkan.
“Hanya para tetua adat yang mengetahui bila di kalangan masyarakat Dayak Meratus HST kesenian itu pernah ada. Sementara para pemuda Dayak kini tak mengenalnya,” ungkap Mido.
Selain di kalangan masyarakat adat Dayak Meratus, kesenian Bahilai juga dikenal oleh masyarakat adat Dayak Loksado di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS).
Bedanya, pada masyarakat Dayak Loksado kesenian itu tetap terjaga dan masih dimainkan. Bahkan pemerintah daerah setempat pada beberapa kesempatan sering mempertontonkan kesenian itu kepada khalayak.
Kondisi itu, katanya, bertolak belakang keadaannya dengan yang terjadi pada masyarakat adat Dayak Meratus, dimana pemerintah daerah setempat tidak mengakomodasi keberadaan kesenian adat Dayak yang ada.
Masyarakat adat sendiri bukannya tidak pernah mencoba untuk melestarikan seni dan budaya mereka dimana sebuah kelompok seni pernah dibentuk di Desa Hinas Kanan, namun tak bertahan lama.
Melalui kelompok seni itu masyarakat adat mencoba mengembangkan dan melestarikan seni serta budaya mereka. Namun keterbatasan sarana dan prasarana pendukung membuat kaum muda Dayak enggan mengikutinya.
Saat pengelola kelompok seni mencoba meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk pengadaan kostum panggung, permintaan itu tidak direspon baik. Padahal mereka hanya meminta pengadaan baju Kabaya (Kebaya), sarung dan Kakamban (selendang).
Hingga akhirnya, satu-satunya kelompok seni yang pernah dibentuk itupun bubar.
Seiring dengan itu, tak ada lagi upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya adat Dayak Meratus, sehingga diambang kepunahan, papar Mido. ant Diba
Sumber: http://www.surya.co.id