Rabu, 17 Maret 2010

Kuta, Desa Adat Pertama yang Berkembang Pariwisatanya

Denpasar Kawasan wisata Kuta yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negeri yang berlibur ke Pulau Dewata, merupakan desa adat pertama dari 1.452 desa pekraman di Bali yang pariwisatanya berkembang pesat.

"Bahkan dalam pengembangan sarana dan prasarana pendukung kepariwisataan tersebut sudah terintegrasi dengan fasilitas yang diperuntukkan bagi warga desa adat," kata Dr Drs I Ketut Sumadi, M.PAR, dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, Jumat.

Pria kelahiran Bayuyang, Gianyar 48 tahun silam itu, melakukan penelitian dan kajian terhadap desa adat Kuta untuk meraih gelar doktor pada program studi kajian budaya program pascasarjana Universitas Udayana dan dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan.

Ia mengatakan, modal budaya sebagai dasar pengembangan pariwisata di desa adat Kuta menunjukkan bahwa kebudayaan telah menjadi propaganda pemerintah dan pengusaha pariwisata untuk mengajak masyarakat dapat menerima ideologi pasar yang penuh persaingan dan gaya hidup yang pragmatis.

"Kebudayaan tidak hanya sebagai pengarah yang menentukan dalam suatu masyarakat yang dipatuhi atau menjadi petunjuk arah dalam praktek yang berhubungan dengan religiusitas, namun menjadi modal promosi pariwisata bagi perjuangan kepentingan merebut keuntungan ekonomi pasar wisata," ujar doktor Sumadi.

Perjuangan tersebut dilakukan secara perorangan, kelompok masyarakat, pemerintah, pengusaha pariwisata maupun secara bersama-sama, dan kini membuahkan hasil berupa peningkatan kehidupan masyarakat.

Ketut Sumadi menjelaskan, penelitian yang dilakukan sangat menarik dan penting, mengingat modal budaya tidak hanya menegaskan fungsinya bagi warga desa adat Kuta, namun juga sangat menonjol dalam memberikan solusi di luar masalah budaya, yakni pengembangan pariwisata.

Pada tataran sosial budaya terjadi adanya proses dominasi dan subordinasi budaya secara dinamis seirama perkembangan pariwisata global.

Sementara pada tataran individu di satu sisi dapat diamati proses resistensi warga desa adat setempat terhadap manipulasi simbolik ideologi pasar.

Selain itu juga tercermin adanya perjuangan politik identitas budaya untuk menjaga ketahanan dan kekokohan desa adat. Namun pada sisi lain terjadi reproduksi identitas kultural untuk memenuhi motivasi atau selera wisatawan serta proses globalisasi agar pariwisata berkembang dan berkelanjutan, tutur Sumadi.

Sumber : http://oase.kompas.com