Mataram - Ritual "Perang Api" yang di gelar umat Hindu di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin petang, sebagai satu rangkaian menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1932, berlangsung cukup menegangkan.
Ritual "Perang Api" yang merupakan tradisi umat Hindu di Mataram sejak 1838 tersebut dilaksanakan di Jalan Selaparang, Cakranegara, yang merupakan lokasi peperangan antara Kerajaan Singosari dengan Kerajaan Karang Asem.
Kegiatan ritual yang dilakukan usai arak-arakan ogoh-ogoh (boneka raksasa dengan bentuk menyeramkan) itu melibatkan ratusan warga dari dua Banjar (lingkungan) yang ada di Kelurahan Cakranegara Timur, yaitu Banjar Negara Sakah dengan Banjar Sweta.
Warga dari masing-masing Banjar saling menyerang dengan menggunakan api yang disulut pada bobok (daun kelapa yang sudah kering yang sudah diikat membentuk sapu).
Sebelum dilakukannya aksi saling serang, para tokoh masyarakat terlebih dahulu memeriksa "bobok" yang akan digunakan oleh warga untuk menyerang warga lainnya.
Proses saling serang terjadi setelah para tokoh masyarakat dari masing-masing banjar sudah sepakat untuk memulai "peperangan".
Warga dari kedua Banjar tampak beringas melayangkan pukulan dengan bobok yang menyala ke arah tubuh lawannya. Proses saling serang beberapa saat dihentikan oleh tokoh masyarakat bersama aparat dari Polsek Cakranegara dan Polres Mataram yang melakukan penjagaan.
Namun, warga dari dua banjar kembali saling serang tanpa menunggu aba-aba dari tokoh masyarakat, sehingga tokoh masyarakat bersama aparat kepolisian terpaksa menyingkir untuk menghindari terkena api dari bobok yang menyala.
Situasi "peperangan" cukup tegang karena warga dari kedua Banjar tidak ada yang mau mundur dari arena peperangan. Jika salah satu kelompok warga mundur maka mereka dianggap kalah.
Akibatnya, sejumlah aparat yang berada di tengah-tengah warga dari dua Banjar yang ingin menghentikan "peperangan" terkena pukulan dan lemparan bobok yang masih menyala dari kedua belah pihak.
Selain itu, ratusan penonton dari berbagai wilayah di Kota Mataram, yang ikut menyaksikan ritual umat Hindu tersebut tampak ketakutan karena mereka sangat dekat dengan warga yang sedang saling menyerang.
Setelah "peperangan" berlangsung sekitar 15 menit akhirnya kedua Banjar sepakat menghentikan "peperangan" dan kembali ke rumah masing-masing dengan suasana damai tanpa ada dendam diantara mereka.
Menurut Lurah Cakranegara Timur, Nyoman Wisnu, "Perang Api" bukan sekedar bentuk peringatan menyambut Hari Raya Nyepi, namun memiliki makna yang lebih dalam yaitu untuk membersihkan bumi dari segala malapetaka yang terjadi.
"Dulu awalnya ada salah seorang warga kami yang mendapat bisikan oleh Hyang Kuasa untuk membakar bobok (oboh-oboh) di pekarangan masing-masing dengan tujuan menghilangkan segala macam musibah yang disebabkan mahluk jahat atau yang disebut dengan ’kala’. Setelah itu, mereka bertemu di jalan ini untuk saling menyerang" katanya.
Saling serang dengan api menggambarkan pembakaran hawa nafsu buruk yang ada dalam diri manusia agar benar-benar suci sebelum memulai acara Tapa Brata Penyepian.
Dia mengatakan, dua hari setelah pelaksanaan Tapa Brata Penyepian, umat Hindu melaksanakan "Lembak Geni" untuk mempererat rasa persatuan sesama manusia.
"Kita saling maaf-memaafkan dua hari setelah pelaksanaan ’Perang Api’ agar tidak ada rasa dendam antar sesama umat manusia," ujarnya. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com
Ritual "Perang Api" yang merupakan tradisi umat Hindu di Mataram sejak 1838 tersebut dilaksanakan di Jalan Selaparang, Cakranegara, yang merupakan lokasi peperangan antara Kerajaan Singosari dengan Kerajaan Karang Asem.
Kegiatan ritual yang dilakukan usai arak-arakan ogoh-ogoh (boneka raksasa dengan bentuk menyeramkan) itu melibatkan ratusan warga dari dua Banjar (lingkungan) yang ada di Kelurahan Cakranegara Timur, yaitu Banjar Negara Sakah dengan Banjar Sweta.
Warga dari masing-masing Banjar saling menyerang dengan menggunakan api yang disulut pada bobok (daun kelapa yang sudah kering yang sudah diikat membentuk sapu).
Sebelum dilakukannya aksi saling serang, para tokoh masyarakat terlebih dahulu memeriksa "bobok" yang akan digunakan oleh warga untuk menyerang warga lainnya.
Proses saling serang terjadi setelah para tokoh masyarakat dari masing-masing banjar sudah sepakat untuk memulai "peperangan".
Warga dari kedua Banjar tampak beringas melayangkan pukulan dengan bobok yang menyala ke arah tubuh lawannya. Proses saling serang beberapa saat dihentikan oleh tokoh masyarakat bersama aparat dari Polsek Cakranegara dan Polres Mataram yang melakukan penjagaan.
Namun, warga dari dua banjar kembali saling serang tanpa menunggu aba-aba dari tokoh masyarakat, sehingga tokoh masyarakat bersama aparat kepolisian terpaksa menyingkir untuk menghindari terkena api dari bobok yang menyala.
Situasi "peperangan" cukup tegang karena warga dari kedua Banjar tidak ada yang mau mundur dari arena peperangan. Jika salah satu kelompok warga mundur maka mereka dianggap kalah.
Akibatnya, sejumlah aparat yang berada di tengah-tengah warga dari dua Banjar yang ingin menghentikan "peperangan" terkena pukulan dan lemparan bobok yang masih menyala dari kedua belah pihak.
Selain itu, ratusan penonton dari berbagai wilayah di Kota Mataram, yang ikut menyaksikan ritual umat Hindu tersebut tampak ketakutan karena mereka sangat dekat dengan warga yang sedang saling menyerang.
Setelah "peperangan" berlangsung sekitar 15 menit akhirnya kedua Banjar sepakat menghentikan "peperangan" dan kembali ke rumah masing-masing dengan suasana damai tanpa ada dendam diantara mereka.
Menurut Lurah Cakranegara Timur, Nyoman Wisnu, "Perang Api" bukan sekedar bentuk peringatan menyambut Hari Raya Nyepi, namun memiliki makna yang lebih dalam yaitu untuk membersihkan bumi dari segala malapetaka yang terjadi.
"Dulu awalnya ada salah seorang warga kami yang mendapat bisikan oleh Hyang Kuasa untuk membakar bobok (oboh-oboh) di pekarangan masing-masing dengan tujuan menghilangkan segala macam musibah yang disebabkan mahluk jahat atau yang disebut dengan ’kala’. Setelah itu, mereka bertemu di jalan ini untuk saling menyerang" katanya.
Saling serang dengan api menggambarkan pembakaran hawa nafsu buruk yang ada dalam diri manusia agar benar-benar suci sebelum memulai acara Tapa Brata Penyepian.
Dia mengatakan, dua hari setelah pelaksanaan Tapa Brata Penyepian, umat Hindu melaksanakan "Lembak Geni" untuk mempererat rasa persatuan sesama manusia.
"Kita saling maaf-memaafkan dua hari setelah pelaksanaan ’Perang Api’ agar tidak ada rasa dendam antar sesama umat manusia," ujarnya. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com