Oleh Anak Agung Gde Agung
Pejabat-pejabat pemerintah dari segala tingkat semuanya menyatakan betapa baiknya kondisi kepariwisataan Indonesia dengan setiap tahun mengalami peningkatan mantap.
Namun, sebaliknya, semua data menunjukkan betapa buruknya keadaan kepariwisataan Indonesia dasawarsa belakangan ini. Selama 12 tahun terakhir, hingga 2007, jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia berkisar 5 juta pengunjung setahun. Walaupun jumlah ini naik ke 6,4 juta pada tahun 2008, peningkatannya selama ini rata-rata 1,9 persen per tahun, suatu prestasi yang sangat menyedihkan.
Rata-rata lama tinggal turis juga turun dari 10 hari pada tahun 1977 menjadi 8,5 hari tahun 2008. Lebih parah lagi adalah betapa jauhnya prestasi Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, yang tahun lalu masing-masing mendatangkan 10 juta, 15 juta, dan 22 juta turis.
Bagaimana bisa Indonesia yang begitu meluap dengan kekayaan budaya dan kecantikan alam hanya menarik kurang dari seperempat jumlah turis yang dilakukan Malaysia yang relatif begitu tandus? Tragedi ini rupanya berpangkal pada 1980-an sewaktu Indonesia, senantiasa kekurangan dana, menunjuk ke Bali yang sudah begitu tersohor sebagai sapi perahan kepariwisataannya.
Sejak itu, tidak banyak yang berubah. Hasilnya, kepariwisataan Indonesia praktis hanya tergantung pada Bali, dengan akibat yang menyedihkan. Turis yang melonjak tajam ke Bali diikuti terjadinya ledakan pembangunan infrastruktur yang mengerosikan lingkungan alam dan budayanya selain juga mengakibatkan ditelantarkannya daerah-daerah wisata lain yang tak kurang menarik di seluruh Nusantara. Tempat-tempat menakjubkan, seperti Borobudur, Yogyakarta, Toraja, Bunaken, dan Ujung Kulon, misalnya, begitu saja ditinggal tidak terurus.
Betapa buruknya stagnasi ini pada tujuan-tujuan wisata lainnya? Berikut ini adalah beberapa statistik yang mengejutkan. Borobudur, yang merupakan lambang warisan dunia yang diakui PBB, hanya berhasil mendatangkan sekitar 55.000 wisatawan asing tahun lalu dibanding dengan lebih dari 1 juta oleh Angkor Watt di Kamboja yang baru saja ”ditemukan”. Toraja beberapa tahun terakhir ini hanya mendatangkan sekitar 5.000 wisatawan dari luar negeri per tahun.
Bunaken rata-rata hanya menarik 10.000 wisman setahun sepanjang ingatan orang dibandingkan dengan lebih dari 4 juta pengunjung untuk Pattaya di Thailand yang mirip. Ujung Kulon dengan badak bercula satunya yang langka hanya bisa mengklaim rata-rata 6.000 turis gabungan lokal dan luar negeri setahunnya.
Perbaikan kepariwisataan Indonesia harus secepatnya dilakukan dan persyaratan utama untuk itu adalah mengubah cara berpikir mendasar para pembuat kebijaksanaan. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mendeklarasikan bahwa turisme merupakan prioritas nasional dan aparat pusat maupun daerah, baik pemerintah maupun swasta, wajib bekerja sama dalam usaha ini.
Strategi cepat-hasil
Setelah itu perlu dilakukan beberapa tindakan ”cepat-hasil” (quick-win) untuk menghidupkan kembali tujuan-tujuan wisata yang selama ini tidak diperhatikan, tetapi hanya perlu sentuhan kecil untuk membuat mereka aktif kembali.
Borobudur, misalnya, dapat dikembalikan ke kejayaannya semula dengan hanya merelokasi pedagang-pedagang kaki lima yang mengelilinginya dan membuatnya mesum serta mengganggu para wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan dan ketenteraman situs ini.
Toraja juga dapat menarik jauh lebih banyak wisatawan apabila bandaranya yang kini ditinggal rusak diperbaiki sehingga turis dapat datang ke sana dalam 45 menit dari Makassar dan menghindari 10 jam perjalanan darat melalui gunung-gunung yang terjal. Untuk Ujung Kulon, jumlah turis dengan mudah dapat ditingkatkan dalam waktu singkat apabila diadakan transportasi laut yang aman dan berjadwal tetap dari Jakarta.
Ada banyak lagi tujuan wisata yang menakjubkan selain yang disebut di atas yang saat ini diabaikan, seperti Gunung Bromo, Pulau Komodo, Prambanan yang hanya memerlukan sentuhan kecil untuk membuat mereka menjadi tujuan turis utama sembari mengurangi tekanan terhadap Bali yang mengalami turis yang berlebihan dan merusak kebudayaan dan alamnya.
Fase ”cepat-hasil” ini harus diikuti dengan program jangka panjang (strategic plan) untuk membangun tujuan-tujuan wisata yang memerlukan investasi infrastruktur agar tempat-tempat yang saat ini kurang dikenal dapat menjadi pusat wisata yang potensial. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kelanjutan jangka panjang industri turisme Indonesia.
Tempat-tempat menarik seperti ini, misalnya, adalah Trowulan dan Kota Gede untuk atraksi sejarah, Banda Naira dan Raja Ampat untuk olahraga selancar angin yang spektakuler, serta Lombok dan Waikabubak untuk pengalaman etnis yang tidak tertandingi. Masih banyak lagi tempat-tempat wisata seperti di atas yang dapat ditawarkan secara kelompok agar wisatawan dapat menikmati perjalanan yang lebih beraneka ragam.
Pentingnya ”branding”
Baik pada waktu fase ”cepat-hasil” maupun pada fase jangka panjang, usaha memperbaiki kepariwisataan Indonesia harus didukung oleh promosi yang tepat dengan melakukan branding nasional yang selaras. Malaysia memiliki ”Truly Asia”, India mengklaim ”Incredible”, sedangkan Singapura dan Thailand masing-masing menamakan diri mereka ”Uniquely Singapore” dan ”Amazing Thailand”.
Branding perlu untuk memosisikan suatu tujuan wisata agar selalu dalam ingatan pertama (top of mind) calon turis, sekalian menjaring agar wisatawan yang datang adalah yang tepat yang dapat menghargai kekhasan tujuan wisata yang bersangkutan. Paradigma dasar kepariwisataan mengatakan, lebih banyak turis yang datang menghargai kekhasan suatu tujuan wisata, lebih banyak pula masyarakat setempat yang akan merasa bangga dengan warisan budaya dan alamnya sehingga makin termotivasi untuk melestarikannya. Ini justru akan mendatangkan lebih banyak turis yang selaras. Semua ini akan menghasilkan suatu gerakan spiral ke atas yang saling mendukung antara masyarakat lokal dan turis yang datang bersama-sama memperkuat warisan tradisi setempat.
Program pariwisata yang berhasil dapat memberikan banyak faedah bagi Indonesia, antara lain membuatnya sebagai tujuan wisata yang paling beraneka ragam di dunia, memberinya penghasilan devisa yang berkelanjutan dan bersih lingkungan yang bisa jauh lebih besar nilainya dari yang didapat dari sumber-sumber lainnya, seperti minyak, yang terbatas jumlahnya.
Selain itu juga membawa kemakmuran bagi rakyat di seluruh Nusa Tenggara secara merata (bukan saja di Bali) melalui pemberdayaan dan kemandirian masyarakat akar rumput tanpa merusak warisan budaya, tradisi, dan alam setempat. Semua ini merupakan potensi besar yang perlu diraih Indonesia karena pahalanya terlalu besar untuk dibiarkan berlalu begitu saja.
Anak Agung Gde Agung Menteri Masalah–masalah Kemasyarakatan di Bawah Presiden Abdurrahman Wahid
Sumber: http://cetak.kompas.com
Pejabat-pejabat pemerintah dari segala tingkat semuanya menyatakan betapa baiknya kondisi kepariwisataan Indonesia dengan setiap tahun mengalami peningkatan mantap.
Namun, sebaliknya, semua data menunjukkan betapa buruknya keadaan kepariwisataan Indonesia dasawarsa belakangan ini. Selama 12 tahun terakhir, hingga 2007, jumlah turis yang berkunjung ke Indonesia berkisar 5 juta pengunjung setahun. Walaupun jumlah ini naik ke 6,4 juta pada tahun 2008, peningkatannya selama ini rata-rata 1,9 persen per tahun, suatu prestasi yang sangat menyedihkan.
Rata-rata lama tinggal turis juga turun dari 10 hari pada tahun 1977 menjadi 8,5 hari tahun 2008. Lebih parah lagi adalah betapa jauhnya prestasi Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia, yang tahun lalu masing-masing mendatangkan 10 juta, 15 juta, dan 22 juta turis.
Bagaimana bisa Indonesia yang begitu meluap dengan kekayaan budaya dan kecantikan alam hanya menarik kurang dari seperempat jumlah turis yang dilakukan Malaysia yang relatif begitu tandus? Tragedi ini rupanya berpangkal pada 1980-an sewaktu Indonesia, senantiasa kekurangan dana, menunjuk ke Bali yang sudah begitu tersohor sebagai sapi perahan kepariwisataannya.
Sejak itu, tidak banyak yang berubah. Hasilnya, kepariwisataan Indonesia praktis hanya tergantung pada Bali, dengan akibat yang menyedihkan. Turis yang melonjak tajam ke Bali diikuti terjadinya ledakan pembangunan infrastruktur yang mengerosikan lingkungan alam dan budayanya selain juga mengakibatkan ditelantarkannya daerah-daerah wisata lain yang tak kurang menarik di seluruh Nusantara. Tempat-tempat menakjubkan, seperti Borobudur, Yogyakarta, Toraja, Bunaken, dan Ujung Kulon, misalnya, begitu saja ditinggal tidak terurus.
Betapa buruknya stagnasi ini pada tujuan-tujuan wisata lainnya? Berikut ini adalah beberapa statistik yang mengejutkan. Borobudur, yang merupakan lambang warisan dunia yang diakui PBB, hanya berhasil mendatangkan sekitar 55.000 wisatawan asing tahun lalu dibanding dengan lebih dari 1 juta oleh Angkor Watt di Kamboja yang baru saja ”ditemukan”. Toraja beberapa tahun terakhir ini hanya mendatangkan sekitar 5.000 wisatawan dari luar negeri per tahun.
Bunaken rata-rata hanya menarik 10.000 wisman setahun sepanjang ingatan orang dibandingkan dengan lebih dari 4 juta pengunjung untuk Pattaya di Thailand yang mirip. Ujung Kulon dengan badak bercula satunya yang langka hanya bisa mengklaim rata-rata 6.000 turis gabungan lokal dan luar negeri setahunnya.
Perbaikan kepariwisataan Indonesia harus secepatnya dilakukan dan persyaratan utama untuk itu adalah mengubah cara berpikir mendasar para pembuat kebijaksanaan. Pertama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mendeklarasikan bahwa turisme merupakan prioritas nasional dan aparat pusat maupun daerah, baik pemerintah maupun swasta, wajib bekerja sama dalam usaha ini.
Strategi cepat-hasil
Setelah itu perlu dilakukan beberapa tindakan ”cepat-hasil” (quick-win) untuk menghidupkan kembali tujuan-tujuan wisata yang selama ini tidak diperhatikan, tetapi hanya perlu sentuhan kecil untuk membuat mereka aktif kembali.
Borobudur, misalnya, dapat dikembalikan ke kejayaannya semula dengan hanya merelokasi pedagang-pedagang kaki lima yang mengelilinginya dan membuatnya mesum serta mengganggu para wisatawan yang datang untuk menikmati keindahan dan ketenteraman situs ini.
Toraja juga dapat menarik jauh lebih banyak wisatawan apabila bandaranya yang kini ditinggal rusak diperbaiki sehingga turis dapat datang ke sana dalam 45 menit dari Makassar dan menghindari 10 jam perjalanan darat melalui gunung-gunung yang terjal. Untuk Ujung Kulon, jumlah turis dengan mudah dapat ditingkatkan dalam waktu singkat apabila diadakan transportasi laut yang aman dan berjadwal tetap dari Jakarta.
Ada banyak lagi tujuan wisata yang menakjubkan selain yang disebut di atas yang saat ini diabaikan, seperti Gunung Bromo, Pulau Komodo, Prambanan yang hanya memerlukan sentuhan kecil untuk membuat mereka menjadi tujuan turis utama sembari mengurangi tekanan terhadap Bali yang mengalami turis yang berlebihan dan merusak kebudayaan dan alamnya.
Fase ”cepat-hasil” ini harus diikuti dengan program jangka panjang (strategic plan) untuk membangun tujuan-tujuan wisata yang memerlukan investasi infrastruktur agar tempat-tempat yang saat ini kurang dikenal dapat menjadi pusat wisata yang potensial. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga kelanjutan jangka panjang industri turisme Indonesia.
Tempat-tempat menarik seperti ini, misalnya, adalah Trowulan dan Kota Gede untuk atraksi sejarah, Banda Naira dan Raja Ampat untuk olahraga selancar angin yang spektakuler, serta Lombok dan Waikabubak untuk pengalaman etnis yang tidak tertandingi. Masih banyak lagi tempat-tempat wisata seperti di atas yang dapat ditawarkan secara kelompok agar wisatawan dapat menikmati perjalanan yang lebih beraneka ragam.
Pentingnya ”branding”
Baik pada waktu fase ”cepat-hasil” maupun pada fase jangka panjang, usaha memperbaiki kepariwisataan Indonesia harus didukung oleh promosi yang tepat dengan melakukan branding nasional yang selaras. Malaysia memiliki ”Truly Asia”, India mengklaim ”Incredible”, sedangkan Singapura dan Thailand masing-masing menamakan diri mereka ”Uniquely Singapore” dan ”Amazing Thailand”.
Branding perlu untuk memosisikan suatu tujuan wisata agar selalu dalam ingatan pertama (top of mind) calon turis, sekalian menjaring agar wisatawan yang datang adalah yang tepat yang dapat menghargai kekhasan tujuan wisata yang bersangkutan. Paradigma dasar kepariwisataan mengatakan, lebih banyak turis yang datang menghargai kekhasan suatu tujuan wisata, lebih banyak pula masyarakat setempat yang akan merasa bangga dengan warisan budaya dan alamnya sehingga makin termotivasi untuk melestarikannya. Ini justru akan mendatangkan lebih banyak turis yang selaras. Semua ini akan menghasilkan suatu gerakan spiral ke atas yang saling mendukung antara masyarakat lokal dan turis yang datang bersama-sama memperkuat warisan tradisi setempat.
Program pariwisata yang berhasil dapat memberikan banyak faedah bagi Indonesia, antara lain membuatnya sebagai tujuan wisata yang paling beraneka ragam di dunia, memberinya penghasilan devisa yang berkelanjutan dan bersih lingkungan yang bisa jauh lebih besar nilainya dari yang didapat dari sumber-sumber lainnya, seperti minyak, yang terbatas jumlahnya.
Selain itu juga membawa kemakmuran bagi rakyat di seluruh Nusa Tenggara secara merata (bukan saja di Bali) melalui pemberdayaan dan kemandirian masyarakat akar rumput tanpa merusak warisan budaya, tradisi, dan alam setempat. Semua ini merupakan potensi besar yang perlu diraih Indonesia karena pahalanya terlalu besar untuk dibiarkan berlalu begitu saja.
Anak Agung Gde Agung Menteri Masalah–masalah Kemasyarakatan di Bawah Presiden Abdurrahman Wahid
Sumber: http://cetak.kompas.com