Lombok - Pada sebuah sore yang hangat di Lapangan Monjok Selaparang, Mataram, Lombok, ratusan orang, mulai balita hingga orang tua berkerumun, di sekitar pagar bambu setinggi lutut orang dewasa berbentuk segi empat ukuran 20 meter x 20 meter.
Ya, sepertinya sebuah arena pertempuran mengadu kekuatan fisik telah disiapkan di lapangan itu. Dua pasang perisai dan penjalin rotan pun telah ditata sedemikian rupa di tengah-tengah arena.
Iringan musik gamelan Lombok yang dimainkan secara langsung oleh sekitar 10 orang secara bergantian di salah satu sudut lapangan seolah mampu menyulutkan adrenalin setiap orang yang datang ke lapangan itu dan tanpa rasa takut, mengadu kekuatan mereka.
Tak lama kemudian, tiga orang pria separuh baya masuk ke arena pertempuran dan mengajak pemuda-pemuda gagah yang datang ke lapangan itu untuk mengadu kekuatan.
Tanpa ada rencana apapun sebelumnya, pemuda-pemuda itu pun secara suka rela menerima tantangan untuk mengadu kekuatan fisik dengan cara saling memukulkan penjalin ke badan lawan.
Kegiatan adat yang sudah berlangsung turun-temurun melewati generasi demi generasi itu dikenal dengan nama peresean, atau saling membentengi diri dari serangan lawan dengan menggunakan perisai atau ende dalam bahasa Sasak, suku asli Lombok.
"Dalam peresean ini, masing-masing lawan tidak tahu akan menghadapi siapa di arena pertandingan, karena semuanya dilakukan secara spontan, saat itu juga," kata Lurah Monjok Budi Wartono.
Lecutan penjalin yang diayunkan sekuat tenaga oleh petarung-petarung yang disebut pepadu di tengah arena itu menyihir penonton untuk tidak beranjak dari pinggir lapangan. Semakin sore, penonton semakin banyak.
Bilur-bilur merah di punggung dan juga pundak akibat terkena pukulan penjalin seolah sudah tidak lagi dirasakan oleh pepadu yang berada di arena.
"Mereka hanya boleh memukul daerah pinggang ke atas termasuk kepala. Jika kena kepala, maka biasanya pepadu akan langsung dinyatakan menang karena lawan sudah tidak lagi berdaya melanjutkan pertandingan," kata lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) 2000 itu.
Selama menyelenggarakan peresean, cedera terparah yang pernah dialami peserta adalah harus menerima 18 jahitan di kepala.
"Mereka tidak akan menuntut panitia karena hal itu. Luka yang mereka dapat adalah resiko yang harus mereka tanggung sendiri. Biasanya mereka malu jika harus mengadu, karena akan dianggap tidak jantan," katanya.
Ia menyatakan, sebelum bertarung di arena, panitia harus memastikan bahwa di antara pepadu tidak ada dendam sebelumnya.
"Ini adalah pertarungan tanpa dendam dan tidak boleh ada dendam di luar arena pertandingan," katanya.
Selama bertarung, seluruh pepadu wajib mengenakan atribut khas peresean, yaitu kain sarung yang dililitkan di pinggang sepanjang lutut dan juga mengenakan ikat kepala.
Pada peresean di Lapangan Monjok yang digelar untuk menyambut HUT ke-17 Kota Mataram tersebut, panitia tidak menyiapkan hadiah istimewa, tetapi sekadar tali asih berupa uang Rp 20.000 bagi yang kalah dan Rp 25.000 untuk pemenang.
Peresean semula ditujukan sebagai ritual untuk meminta hujan, namun saat ini peresean lebih banyak dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu seperti Hari Ulang Tahun Kota Mataram, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau menjelang puasa.
"Antusiasme masyarakat tetap tinggi meskipun ini adalah tradisi yang biasanya sering terlupakan, karena kemenangan yang diperoleh dari ajang peresean ini akan turut mengangkat derajat dan gengsi seorang laki-laki," katanya.
Bagi seorang pepadu yang sudah disegani di masyarakat berjuluk Piring Nadi, tradisi peresean harus tetap dipertahankan agar tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
"Saya sudah mulai mengenal tradisi ini sejak kelas dua sekolah dasar hingga kini saat saya duduk di bangku kuliah," kata Piring Nadi yang bernama asli Supardi (26).
Ketertarikannya untuk mempelajari peresan bermula dari ayahnya, seorang pepadu yang disegani pada jamannya. "Saya merasa bangga dapat menjadi pepadu karena lebih disegani di tengah masyarakat," lanjutnya.
Selain mengadu kekuatan fisik, ia tidak menampik apabila tradisi peresean tersebut juga menjadi ajang untuk mengadu ilmu yang berdasarkan pada mantra-mantra.
"Jika sudah sangat kuat, seorang pepadu bahkan tidak harus mengeluarkan tenaga fisik untuk mengalahkan lawannya, misalnya dengan membuat penjalin yang semula sangat keras itu menjadi lembek," katanya.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Mataram Alwi menyatakan, Kota Mataram berencana untuk mengembangkan peresean tersebut menjadi objek wisata bagi wisatawan. "Saat ini memang belum dikemas seperti itu, tetapi rencana ke arah sana pasti ada," lanjutnya. (E013/s018)
Sumber : http://www.antaranews.com
Ya, sepertinya sebuah arena pertempuran mengadu kekuatan fisik telah disiapkan di lapangan itu. Dua pasang perisai dan penjalin rotan pun telah ditata sedemikian rupa di tengah-tengah arena.
Iringan musik gamelan Lombok yang dimainkan secara langsung oleh sekitar 10 orang secara bergantian di salah satu sudut lapangan seolah mampu menyulutkan adrenalin setiap orang yang datang ke lapangan itu dan tanpa rasa takut, mengadu kekuatan mereka.
Tak lama kemudian, tiga orang pria separuh baya masuk ke arena pertempuran dan mengajak pemuda-pemuda gagah yang datang ke lapangan itu untuk mengadu kekuatan.
Tanpa ada rencana apapun sebelumnya, pemuda-pemuda itu pun secara suka rela menerima tantangan untuk mengadu kekuatan fisik dengan cara saling memukulkan penjalin ke badan lawan.
Kegiatan adat yang sudah berlangsung turun-temurun melewati generasi demi generasi itu dikenal dengan nama peresean, atau saling membentengi diri dari serangan lawan dengan menggunakan perisai atau ende dalam bahasa Sasak, suku asli Lombok.
"Dalam peresean ini, masing-masing lawan tidak tahu akan menghadapi siapa di arena pertandingan, karena semuanya dilakukan secara spontan, saat itu juga," kata Lurah Monjok Budi Wartono.
Lecutan penjalin yang diayunkan sekuat tenaga oleh petarung-petarung yang disebut pepadu di tengah arena itu menyihir penonton untuk tidak beranjak dari pinggir lapangan. Semakin sore, penonton semakin banyak.
Bilur-bilur merah di punggung dan juga pundak akibat terkena pukulan penjalin seolah sudah tidak lagi dirasakan oleh pepadu yang berada di arena.
"Mereka hanya boleh memukul daerah pinggang ke atas termasuk kepala. Jika kena kepala, maka biasanya pepadu akan langsung dinyatakan menang karena lawan sudah tidak lagi berdaya melanjutkan pertandingan," kata lulusan Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) 2000 itu.
Selama menyelenggarakan peresean, cedera terparah yang pernah dialami peserta adalah harus menerima 18 jahitan di kepala.
"Mereka tidak akan menuntut panitia karena hal itu. Luka yang mereka dapat adalah resiko yang harus mereka tanggung sendiri. Biasanya mereka malu jika harus mengadu, karena akan dianggap tidak jantan," katanya.
Ia menyatakan, sebelum bertarung di arena, panitia harus memastikan bahwa di antara pepadu tidak ada dendam sebelumnya.
"Ini adalah pertarungan tanpa dendam dan tidak boleh ada dendam di luar arena pertandingan," katanya.
Selama bertarung, seluruh pepadu wajib mengenakan atribut khas peresean, yaitu kain sarung yang dililitkan di pinggang sepanjang lutut dan juga mengenakan ikat kepala.
Pada peresean di Lapangan Monjok yang digelar untuk menyambut HUT ke-17 Kota Mataram tersebut, panitia tidak menyiapkan hadiah istimewa, tetapi sekadar tali asih berupa uang Rp 20.000 bagi yang kalah dan Rp 25.000 untuk pemenang.
Peresean semula ditujukan sebagai ritual untuk meminta hujan, namun saat ini peresean lebih banyak dilakukan untuk memperingati hari-hari tertentu seperti Hari Ulang Tahun Kota Mataram, Hari Kemerdekaan Republik Indonesia atau menjelang puasa.
"Antusiasme masyarakat tetap tinggi meskipun ini adalah tradisi yang biasanya sering terlupakan, karena kemenangan yang diperoleh dari ajang peresean ini akan turut mengangkat derajat dan gengsi seorang laki-laki," katanya.
Bagi seorang pepadu yang sudah disegani di masyarakat berjuluk Piring Nadi, tradisi peresean harus tetap dipertahankan agar tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat.
"Saya sudah mulai mengenal tradisi ini sejak kelas dua sekolah dasar hingga kini saat saya duduk di bangku kuliah," kata Piring Nadi yang bernama asli Supardi (26).
Ketertarikannya untuk mempelajari peresan bermula dari ayahnya, seorang pepadu yang disegani pada jamannya. "Saya merasa bangga dapat menjadi pepadu karena lebih disegani di tengah masyarakat," lanjutnya.
Selain mengadu kekuatan fisik, ia tidak menampik apabila tradisi peresean tersebut juga menjadi ajang untuk mengadu ilmu yang berdasarkan pada mantra-mantra.
"Jika sudah sangat kuat, seorang pepadu bahkan tidak harus mengeluarkan tenaga fisik untuk mengalahkan lawannya, misalnya dengan membuat penjalin yang semula sangat keras itu menjadi lembek," katanya.
Sementara itu, Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Mataram Alwi menyatakan, Kota Mataram berencana untuk mengembangkan peresean tersebut menjadi objek wisata bagi wisatawan. "Saat ini memang belum dikemas seperti itu, tetapi rencana ke arah sana pasti ada," lanjutnya. (E013/s018)
Sumber : http://www.antaranews.com