Senin, 05 September 2011

Mangenta, Tradisi Dayak yang Kian Tergerus

Palangkaraya, Kalteng - Banyak tradisi khas Indonesia yang kian tergerus zaman. Salah satu tradisi di Kalimantan Tengah yang semakin jarang dilakukan yakni mangenta atau memasak makanan tradisional masyarakat Dayak.

Makanan tersebut yakni kenta itu, dulu kerap dibuat nenek moyang Dayak sebagai ungkapan rasa syukur usai memanen padi. Menurut Kepala Subbagian Umum/Perlengkapan dan Kepegawaian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kalteng, Darham S Tuwe di Palangkaraya, Kalteng, Senin (6/6/2011), proses mangenta dimulai dengan merendam beras ketan selama sekitar satu jam.

Setelah itu, beras disangrai dengan tungku di atas kayu bakar hingga matang. Selanjutnya, beras ditumbuk dengan kayu ulin. Sambil ditumbuk, pembuat kenta menggunakan penguir (alat pengangkat adonan agar beras tidak lengket atau menggumpal).

Beras kemudian dibersihkan dari kotoran-kotoran yang masih tertinggal. Kenta pun siap dihidangkan bersama air kelapa, gula pasir, gula merah, dan potongan kelapa muda.

Kenta biasa dimasak masyarakat desa atau kampung beramai-ramai. Biasanya, kegiatan itu dilakukan pada Maret atau April. Mangenta merupakan penerapan kearifan lokal masyarakat Dayak untuk mendahului masa berkembang biaknya tikus, burung, atau serangga pemakan padi.

Upaya tersebut berupaya menekan kerugian akibat hama. Mangenta masih ramai dilakukan pada tahun 1970-an. "Lalu pada era 1980-an mulai berkurang karena jumlah petani semakin sedikit. Sekarang, mangenta sudah jarang dilakukan," ujar Darham.

Kini, banyak orangtua yang tak bisa menjelaskan proses mangenta. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang bisa memasak kenta sudah wafat. Karena itu, tak heran jika pengetahuan generasi muda mengenai mangenta terus tergerus zaman.