Rabu, 21 Oktober 2009

Denyut Pariwisata Sumbar Tiada Henti

Dua puluh hari telah berlalu, gempa 7,9 pada skala richter yang mengguncang Sumatra Barat (Sumbar) masih menyisakan trauma, rasa takut, dan kesedihan. Denyut kehidupan Sumbar berangsur normal. Bahkan tiga hari setelah gempa aktivitas perekonomian dari pedagang kaki lima Kota Padang mulai terlihat.

Tidak hanya perdagangan yang ingin segera beranjak dari keterpurukan, tetapi juga pariwisata yang menjadi bagian penting dari sektor jasa Ranah Minang. Keelokan alam Sumbar, kuatnya tradisi, dan beragamnya budaya Minang menjadi modal bagi pariwisata provinsi itu.

Belakangan terbukti, gempa tidak serta-merta merontokan seluruh pariwisata Nagari Minang ini. Empat hari setelah gempa, Cagar Budaya Rumah Gadang Mande Rubiah, di Lunang Silaut, Pesisir Selatan (Pessel), Sumbar, sudah didatangi pengunjung.

Dua minggu setelah gempa tercatat 15 kelompok pengunjung telah mendatangi cagar budaya yang menyimpan cerita sejarah Bundo Kanduang tersebut. “Empat hari setelah gempa sudah ada yang datang ke sini. Mereka ada yang sekedar berkunjung ada juga yang sengaja berziarah,” kata suami dari Mande Rubiah, Suhardi.

Bahkan, menurut Suhardi, di antara mereka, wisatawan lokal, yang datang kesorean ada yang menginap dirumahnya. Pengunjung biasanya tidak hanya mengagumi Rumah Gadang Mande Rubiah yang berusia ratusan tahun, tetapi juga berziarah ke makam Bungo Kanduang yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahnya.

Bukittinggi, kota yang menjadi andalan pariwisata Sumbar pun tidak serta-merta ditinggalkan wisatawan asing maupun lokal. Tingkat hunian hotel di kota tersebut cukup tinggi, apalagi hotel-hotel terbaik yang tersisa di Sumbar pascagempa hanya ada di kota berhawa sejuk tersebut. Di Hotel Gran Malindo contohnya, kamar hotel mayoritas justru dihuni oleh wisatawan asing asal Jerman, Belanda, dan Turki.

Menurut seorang staf Hotel Gran Malindo, para wisatawan itu tidak terlalu terganggu dengan bencana yang baru saja terjadi di provinsi tersebut. Karena itu kunjungan tidak dibatalkan atau pun ditunda. Wisatawan asal Jerman dan Belanda, menurut dia, lebih menyukai wisata alam. Mereka akan mengunjungi Lembah Anai, Ngarai Sianok, Danau Maninjau, dan Singkarak.

“Mereka rombongan wisatawan asing dari Medan. Mereka biasanya mengambil paket wisata yang memasukan Bukittinggi sebagai salah satu tujuannya,” ujar dia.

Namun demikian, tidak semua aktivitas pariwisata di Sumbar telah kembali normal. Sieken contohnya, pedagang makanan dan minuman di obyek wisata jembatan akar, mengatakan, jumlah pengunjung belum kembali normal. “Apalagi biasanya pengunjung yang paling banyak datang itu dari Padang Pariaman. Tapi ternyata daerah yang paling parah terkena bencana di sana, otomatis itu mempengaruhi jumlah pengunjung di sini,” kata wanita beranak dua yang sedang menanti kelahiran anak ketiganya.

Jika di hari-hari besar agama jumlah pengunjung membludak, hingga pendapatan dapat mencapai Rp350.000 per hari, namun setelah gempa jumlah pengunjung di akhir pekan turun drastis. Baru di minggu kedua pascagempa, menurut Sieken, pengunjung mulai tampak walau jumlahnya baru satu atau dua orang. “Saya sudah berjualan di hari Sabtu dan Minggu pertama setelah gempa. Saya sama sekali tidak ada pemasukan karena tidak ada pengunjung,” ujar dia.

Banyak hal yang musti dibenahi untuk menunjang bangkitnya pariwisata Ranah Minang, misalnya penginapan yang layak, yang mampu menampung wisatawan asing dan lokal menjadi prasyarat utama, terutama di Kota Padang.

Perbaikan berbagai fasilitas dan infrastruktur, seperti jalan, telekomunikasi, air bersih, hingga transportasi, menjadi prasyarat lain. Promosi, menjadi hal penting untuk meyakinkan kembali wisatawan asing maupun lokal bahwa provinsi Sumbar siap dikunjungi. Dan tugas pemerintah untuk segera mengembalikan lagi “senyum” Ranah Minang untuk menyambut kembali wisatawan.(*an/z)

Sumber: http://matanews.com