Rabu, 21 Oktober 2009

Menbudpar Harus Punya Visi Kebudayaan

Bandung - Sejumlah pengamat dan aktivis kebudayaan mengharapkan posisi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata dalam kabinet pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono periode 2009-2014 diisi oleh orang yang memiliki visi kebudayaan nasional serta memiliki keterpanggilan pada pelestarian kesenian tradisi.

Selama ini, kita belum memiliki visi kebudayaan nasional yang jelas. Keberpihakan kepada pelestarian kesenian tradisi masih kurang, sementara pengembangan seni dan budaya dikerdilkan hanya pada ukuran ekonomi semata, kata Halim HD, pengamat budaya asal Serang, Banten, Selasa (20/10).

Pendapat itu dikemukakan Halim dengan berkaca pada kondisi seni dan budaya Indonesia dalam lima tahun terakhir. Ia berpendapat, di bawah kepemimpinan Jero Wacik selaku Menbudpar, kebudayaan Indonesia dikembangkan secara sektoral. Kesenian dan budaya lebih banyak diarahkan untuk dijual dengan ukuran-ukuran ekonomi, katanya.

Padahal, kebudayaan tidak hanya terbatas pada nilai ekonomis semata. Kebudayaan melalui aneka pertunjukan kesenian tradisi, lanjut Halim, juga turut menyemai nilai-nilai kebersamaan dalam masyarakat yang kini makin teralienasi dan modern.

Di kota-kota dan desa makin sulit ditemui ruang publik bagi tumbuh kembangnya seni tradisi. Halim berpendapat, Hal itu turut men yumbang pada timbulnya kesenjangan dan konflik horizontal. Pandangan dan visi tentang peranan ruang publik dalam kebudayaan nasional itulah yang selama ini tidak menjadi pemikiran para pembuat kebijakan.

Ruang publik yang menyempit, Halim menambahkan, akhirnya mendesak kesenian tradisi. Akibatnya, banyak seni-seni tradisi yang terancam punah atau tidak ada lagi penerusnya. Misalnya, seni pertunjukan Ubrug di Banten yang kini hanya dijalankan oleh kurang dari 50 komunitas.

Padahal, seni pertunjukan yang menyerupai lenong itu dulu adalah seni yang akrab, serta tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dulu bisa ada lebih dari 80 komunitas yang menjalankan seni tersebut, katanya.

Bukan hanya seni pertunjukan Seni Ubrug, dari sejumlah pengalamannya berkunjung dan mempelajari kesenian tradisi di berbagai daerah, Halim mendapati fenomena yang serupa. Seni tari Pakarena di Sulawesi Selatan, misalnya, kini diperkirakan hanya dikuasai t idak lebih dari lima orang. Begitu halnya dengan kondisi Tari Topeng di Cirebon yang dikembangkan satu atau dua komunitas saja.

Persoalan seni tradisi menjadi sangat penting dalam pembentukan visi kebudayaan nasional. Sebab, tradisi adalah tonggak cara hidup dan berpikir suatu masyarakat. Ketika tradisi itu hilang, maka wajar bila suatu masyarakat mengalami disorientasi, kata Halim.

Ia mendorong Menbudpar yang terpilih nantinya agar membentuk tim khusus penanganan seni tradisi. Banyak hal yang harus diperbaiki di daerah, lanjut Halim, antara lain mengenai kemudahan mengakses informasi tentang kekayaan seni tradisi daerah.

Banyak kepala dinas yang menangani seni, budaya dan pariwisata di daerah ternyata tidak menguasai kekayaan seni tradisi di daerahnya, ujarnya.

Halim juga mengkritisi Jero Wacik semasa menjabat Menbudpar beserta jajarannya yang dinilai kurang menguasai kondisi di lapangan. Mereka sama sekali tidak mengetahui kondis i di lapangan. Sayangnya, mereka juga enggan bertanya dengan pihak-pihak yang paham tentang seni tradisi di daerah masing-masing, ungkapnya.

Wacana yang menyebutkan tentang kemungkinan dipilihnya kembali Jero Wacik sebagai Menbudpar, menurut Halim, kurang tepat. Saya bukannya menolak Jero Wacik. Sosok seperti dia memang praktisi kebudayaan yang menarik, namun cara pemikirannya terlal u sektoral dengan menempatkan kesenian seolah-olah hanya untuk dijual, ujarnya. (REK)

Sumber: http://oase.kompas.com